Rabu, 31 Oktober 2012

UN dan Matinya Moralitas Pendidik


 
UN dan Matinya Moralitas Pendidik
Oleh : Kasan As’ari *

UN (Ujian Nasional) walaupun sudah berjalan selama 6 tahun dengan kriteria yang berbeda terus menuai kontraversi. Pembicaraan mengenai UN selalu aktual di media masa, terutama menjelang diselenggarakannya UN yaitu antara bulan April-Juni.  Para  pakar pendidikan baik yang mendukung UN maupun yang menolak UN dengan berbagai alasan dan data yang mendukung tampil di media sebagai bentuk perhatian mereka atas nasib pendidikan bangsa Indonesia. 
UN Sebagai salah satu bentuk alat ukur pendidikan (measurement) dan evaluasi pendidikan secara nasional sebenarnya tidak ada masalah, semua pakar pendidikan telah sepakat, bahwa keberhasilan pendidikan  itu harus di ukur dan di evaluasi. Menurut Purwanto (2010: 2-3) Tujuan  pengukuran (measurenment) adalah untuk mengetahui apakah proses pendidikan yang berjalan berhasil sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan atau tidak. Mengukur ini dilakukan dengan cara membandingkan sesuatu yang diukur itu dengan alat ukurnya (dalam hal ini kriteria kelulusan). Sedangkan tujuan Evaluasi adalah untuk pertimbangan pengambilan keputusan setelah diadakannya proses pengukuran. Melalui evaluasi dapat diketahui dimana letak kelemahan dan letak kelebihan suatu proses, sehingga kedepan diharapkan ada perbaikan hasil yang dicapai.
Permasalahan UN timbul, ketika UN dijadikan sebagai salah satu syarat kelulusan dari satuan pendidikan, sedangkan pendidikan kita sudah menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), sehingga yang paling berhak menentukan seorang siswa sudah menuntaskan dan berhasil lulus dalam satuan pendidikan adalah satuan pendidikan yang bersangkutan, dalam hal ini tentu pendidik yang bersangkutan, bukan pemerintah yang tidak pernah terlibat dalam kelas tempat proses pembelajaran dilaksanakan. Akan tetapi pemerintah juga tidak mau kalah karena pemerintah juga memiliki standar kelulusan, karena pemerintah menginginkan pendidikan yang bermutu tentunya harus mengikuti kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh pemerintah secara nasional.

membangun sekolah masyarakat (public school)


MEMBANGUN SEKOLAH MASYARAKAT (PUBLIC SCHOOL) MELALUI PENDIDIKAN LIFE SKILLS
(Kasan As’ari, M.Pd.I)

A.    Pendahuluan
Salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasa masyarakat adalah pendidikan, bahkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menganggap bahwa program pendidikan merupakan salah satu dinamisator dalam pengembangan masyarakat kedepan. Masyarakat industri  masa depan memberi peluang yang besar bagi pengembangan manusia, namun juga dapat menjadi “pembunuh” pengembangan manusia apabila masyarakat tidak dipersiapkan secara matang melalui program pendidikan. (H.A.R Tilaar, 2008:77)
Masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan berharap besar pada peran sekolah di dalam menciptakan tatanan masyarakat yang maju, sejahtera lahir dan batin. Sayangnya, harapan besar masyarakat tersebut belum sepenuhnya bisa dipenuhi oleh lembaga pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari data yang dimuat oleh  BPS (Badan Pusat Statistik), dimana ada 9 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori pengangguran terdidik.

Minggu, 28 Oktober 2012

PAI yang berintegrasi dengan Pendidikan Karakter


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH YANG BERINTEGRASI DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER
SUDAH DIMUAT DI RINDANG EDISI BULAN September 2012

Kasan As’ari*
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh beberapa pertanyaan teman-teman guru PAI (penulisan juga sebagai guru PAI SMP), apa itu pendidikan karakter ? mengapa harus ada pendidikan karakter ? bagaimana nanti nasib pendidikan agama, apakah pendidikan karakter tidak akan menyerobot wilayah garapan guru agama ?. Sampai ada beberapa  teman yang menanyakan apakah saya memiliki RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) yang berbasis karakter ?
Berbagai pertanyaan tersebut mengindikasikan, bahwa masih banyak guru yang belum memahami pendidikan karakter, bahkan ketika penulis sedang diklat peningkatan kompetensi guru PAI di Bandungan, kebanyakan guru masih berburu RPP yang berintegrasi dengan pendidikan karakter sebagai bahan rujukan dalam pembuatan RPP diinstitusinya.

Ismail Ibrahim, Ismail Kita


 
ISMAIL IBRAHIM, ISMAIL KITA
Kasan As’ari*


 Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah…(QS. Al Kautsar :2)
Setiap mendekati hari raya Idul Adha umat muslim diseluruh dunia yang memiliki kemampuan untuk berkorban selalu bersemangat untuk menyembelih hewan korban, hal tersebut karena beberapa faktor, diantaranya selain korban mengandung dimensi Ubudiyah (ketaatan hamba) kepada Tuhannya juga merupakan ibadah yang mengandung dimensi sosial yang tinggi, dengan korban masyarakat miskin yang selama ini jarang atau bahkan tidak pernah memakan asupan gizi dari protein hewani akan merasakan nikmatnya daging yang banyak mengandung protein hewani. Karena ibadah ini mengandung dimensi sosial yang tinggi maka masyarakat muslim yang merasa mampu akan berlomba-lomba dalam melaksanakan korban, sehingga seringkali hewan korban pada suatu daerah surplus, sehingga perlu didistribusikan ke daerah lain yang minus.
Seringkali seorang muslim tidak mengetahui hikmah atau hakikat dari pelaksanakan korban itu sendiri, korban hanya dimaknai sebatas ibadah dengan menyembelih hewan  ansich, sehingga lebih mirip semacam pesta besar-besaran umat muslim, karenanya pada sebagian masyarakat Jawa hari raya Idul Adha disebut juga bodo besar.

Rabu, 24 Oktober 2012

ALANGKAH INDAH PERBEDAAN


Oleh : Kasan As’ari (Kendal, 18, November 2010)

Sudah beberapa kali masyarkat muslim indonesia mengalami dua hari raya yang berbeda, walaupun sebenarnya kadang juga tiga, akan tetapi yang nampak kepermukaan hanya dua karena masyarakat muslim indonesia mayoritas berafiliasi ke dua organisasi keagamaan besar yaitu Nahdlotul ‘Ulama dan Muhammadiyah, baik secara kultural maupun struktural. Begitu juga pada hari raya idul Adha kali ini masyarakat muslim indonesia juga merayakan hari raya dua kali di hari yang berbeda.

Masyarakat kita sekarang sudah menyadari dan menikmati arti sebuah perbedaan, hampir tidak terdengar konflik atau gontok-gontokan mengenai perbedaan hari raya ini. Hal ini disebabkan masyarakat sudah lebih dewasa dalam mensikapi perbedaan dibandingkan 15 tahun yang lalu, saat awal-awal ada perbedaan hari raya Idul fitri ditengah masyarakat muslim Indonesia. Pada saat itu perbedaan memang masih merupakan sesuatu yang tabu dalam masyarakat muslim indonesia, apalagi mengenai hari raya yang merupakan kegiatan ibadah dan masih merupakan satu rangkaian dengan ibadah lainnya. Pada saat itu pemerintah sampai melarang takbir keliling karena sering ada kasus diserang atau dicegat oleh sekelompok orang yang berbeda pandangan dalam merayakan hari raya.

Ikhtilafu ummati ni’mah, begitu bunyi salah satu matan hadits nabi yang berarti bahwa perbedaan pada umatku adalah nikmat. Perbedaan ini akan menjadi nikmat, jika kita bisa mensikapi, perbedaan itu akan menjadi indah apabila kita bisa saling mengisi dan perbedaan itu akan menjadi wahana kasih sayang apabila kita bisa saling memahami, bahwa sesungguhnya perbedaan itu adalah kodrat dan iradat Allah atas makhluknya. Kita boleh saja menganggap diri kita benar berdasarkan dalil ini dan itu, akantetapi jangan sampai kita menganggap saudara kita salah, karena saudara kita juga punya dasar ini dan itu, yang sumbernya juga sama yaitu dari Allah SWT. Sebaliknya kita tidak boleh menganggap diri kita adalah makhluk yang paling benar, karena pada hakikatnya apabila kita menganggap diri kita adalah yang paling benar berarti kita menyerobot wilayah kedudukan Kholik (sang pencipta) yaitu Allah, dalam hati kita telah dihinggapi suatu penyakit hati yaitu takabur (sombong) dengan mengangungkan diri dan membusungkan dada mengatakan yang paling benar adalah saya, dan yang lainnya salah, bukankah kita semua tahu, Bahwa yang paling benar adalah Allah, baik didunia maupun diakhirat. Kita itu sebagai makhluk hanya berusaha menafsirkan kebenaran yang datangnya dari Allah, dan hasil penafsiran kita belum tentu benar. Kita tidak boleh menganggap diri kita yang telah diberi otoritas oleh Tuhan untuk menjustifikasi dan menafsirkan kebenaran dari Tuhan dan orang lain tidak, bukankah kita dilahirkan kedunia ini telah diberi kemerdekaan yang sama oleh Tuhan dan memiliki potensi yang sama dalam menafsirkan kebenaran yang datangnya dari Tuhan. Wallahu ‘alamu bi Showab