MEMBANGUN
SEKOLAH MASYARAKAT (PUBLIC SCHOOL) MELALUI PENDIDIKAN LIFE SKILLS
(Kasan
As’ari, M.Pd.I)
A.
Pendahuluan
Salah satu program yang dapat menyiapkan dan
merekayasa masyarakat adalah pendidikan, bahkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
menganggap bahwa program pendidikan merupakan salah satu dinamisator dalam
pengembangan masyarakat kedepan. Masyarakat industri masa depan memberi peluang yang besar bagi
pengembangan manusia, namun juga dapat menjadi “pembunuh” pengembangan manusia
apabila masyarakat tidak dipersiapkan secara matang melalui program pendidikan.
(H.A.R Tilaar, 2008:77)
Masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan berharap
besar pada peran sekolah di dalam menciptakan tatanan masyarakat yang maju,
sejahtera lahir dan batin. Sayangnya, harapan besar masyarakat tersebut belum
sepenuhnya bisa dipenuhi oleh lembaga pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari
data yang dimuat oleh BPS (Badan Pusat
Statistik), dimana ada 9 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori
pengangguran terdidik.
Menurut data di BPS setiap pertumbuhan ekonomi 1% akan mampu menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak 265.000,-. Hal ini jika diasumsikan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 6%, maka jumlah lapangan kerja yang tersedia adalah 1.590.000,- setiap tahunnya. Sedangkan jumlah pengangguran kita pada tahun 2006 sebanyak 11.104.093 jiwa, dengan rincian lulusan SD sebanyak 3.524.884 orang, lulusan SMP sebanyak 2.860.006 orang, lulusan SMA sebanyak 4.047.016 orang, lulusan diploma sebanyak 297.185 orang dan lulusan Sarjana sebanyak 375.601 orang. (http://www.yukbisnis.com).
Apabila kondisi
diatas tidak mendapatkan solusi yang tepat dari lembaga pendidikan, maka bukan
tidak mungkin lembaga pendidikan akan kehilangan kepercayaan dari mayarakat
sebagai klien. Masyarakat akan lebih apatis melihat peran lembaga pendidikan di
dalam menciptakan struktur masyarakat yang lebih maju, sejahtera lahir dan
batin. Untuk itu lembaga pendidikan perlu merekonstruksi pola hubungannya
dengan masyarakat dan kurikulum yang selama ini berjalan, agar mampu
menghasilkan lulusan yang memiliki sikap kemandirian, berpikiran kedepan,
kritis, pencipta lapangan kerja dan bukan lagi pencari kerja yang akan menambah
jumlah barisan pengangguran.
Berdasarkan
pemaparan diatas, ada beberapa permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini,
yaitu :
1.
Bagaimana konsep pendidikan yang berbasis pada masyarakat
2.
Bagaimana konsep pendidikan kecakapan hidup (life
skills) yang dibutuhkan masyarakat.
3.
Bagimana implementasi pendidikan kecakapan hidup (life
skills) dalam proses pembelajaran di kelas.
B.
Pendidikan/sekolah
berbasis masyarakat
Menurut
Sagala S. (2004) konsep pendidikan berbasis masyarakat merupakan impelementasi
dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dari konsep di atas
dapat dinyatakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang
dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat
dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar
serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM
tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan
memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan
masyarakat.
Sedangkan
menurut Dean Nielsen (2001:175) pendidikan berbasis masyarakat di Indonesia
menunjuk pada pengertian yang beragam, diantaranya:
- peran
serta masyarakat dalam pendidikan
- Pengambilan
keputusan yang berbasis sekolah
- Pendidikan
yang diberikan oleh sekolah swasta atau yayasan
- Pendidikan
dan pelatihan yang diberikan oleh pusat pelatihan milik swasta
- Pendidikan
luar sekolah yang disediakan oleh pemerintah
- Pusat
kegiatan belajar masyarakat
- Pendidikan
luar sekolah yang diberikan oleh organisasi akar rumput (grassroot
organisation) seperti LSM dan Pesantren.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional tentang peran serta masyarakat
dalam pendidikan yang tertuang pada pasal 54 ayat (1) Peran serta masyarakat
dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga,
organisasi profisi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam
menyelenggarakan dan pengendalian mutu pada satuan pendidikan. Ayat (2)
masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber pelaksanaan dan pengguna hasil
pendidikan.
Demikian pula pendidikan berbasis masyarakat
sebagaimana yang tertuang pada pasal 55 ayat (1) masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non
formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk
kepentingan masyarakat ayat (2) penyelenggaraan pendidikan berbasis
mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta
manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Ayat (3)
dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan atau sumber lain yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; ayat (4) lembaga pendidikan
berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan tekhnis, subsidi dana dan sumbe
daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan / atau pemerintah daerah.
Pengertian tentang “basis” dapat menunjuk
kepada derajat kepemilikan masyarakat. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa
apabila sesuatu berbasis masyarakat, maka hal itu sepenuhnya menjadi milik
masyarakat. Kepemilikan mengimplikasikan adanya pengendalian secara penuh
terhadap pengambilan keputusan. Kepemilikan penuh berarti bahwa masyarakat
memutuskan tujuan dan sasaran, pembiayaan (tingkatan dan sumber), kurikulum,
materi belajar, standar dan ujian, guru dan kualifikasinya, persyaratan
siswa/peserta, tempat dan sebagainya. (Dean Nielsen, 2001: 176)
Secara umum
orang dapat mengatakan apabila terjadi kontak, pertemuan dan lain-lain antara
sekolah dengan orang di luar sekolah, adalah kegiatan hubungan sekolah dengan
masyarakat. Menurut Arthur B. Mochlan yang dikutip oleh Akhmad Sudrajat (2010)
menyatakan school public relation adalah kegiatan yang dilakukan oleh
sekolah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Apa
sebenarnya kebutuhan masyarakat terhadap sekolah itu? Masyarakat (lebih khusus
lagi orang tua murid) mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agar mereka dapat
menjadi manusia dewasa yang bermanfaat bagi kehidupannya dan bagi masyarakat
secara umum. Secara praktis sering kita dengar para orang tua menginginkan
anaknya dapat berprestasi di sekolah. Ini berarti kebutuhan masyarakat terhadap
sekolah adalah penyelenggaraan dan pelayanan proses belajar mengajar yang
berkualitas dengan out put yang berkualitas pula. Dengan tuntutan yang
demikian akan menjadi beban bagi sekolah, dengan segala keterbatasan yang
dimilikinya (tenaga, biaya, waktu dan sebagainya).
Untuk itu
sekolah perlu melakukan pendekatan permintaan masyarakat, yaitu suatu
pendekatan yang dalam pengembangan pendidikan didasarkan pada tujuan untuk
memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada
tempat dan waktu tertentu dalam perekonomian sosial, politik dan kebudayaan
yang ada pada waktu itu. (Harjanto, 2006:33-34)
Penjelasan di
atas memberikan isyarat kepada kita bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat
lebih banyak menekankan pada pemenuhan akan kebutuhan masyarakat yang terkait
dengan sekolah. Di sisi lain pengertian tersebut di atas menggambarkan bahwa
pelaksanaan hubungan masyarakat tidak menunggu adanya permintaan masyarakat,
tetapi sekolah berusaha secara aktif (jemput bola), serta mengambil inisiatif
untuk melakukan berbagai aktivitas agar tercipta hubungan dan kerjasama
harmonis. Hubungan tersebut nampaknya lebih mengarah pada pola hubungan satu
arah, yaitu kemauan sekolah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tentang hal-hal
yang berkaitan dengan sekolah. Ini berarti pihak sekolah kurang mendapatkan
balikan dari pihak masyarakat.
Definisi
yang lebih lengkap diungkapkan oleh Bernays seperti dikutip oleh Akhmad
Sudrajat (2010), yang menyatakan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat
adalah:
1.
Information given to the public (memberikan
informasi secara jelas dan lengkap kepada masyarakat)
2.
Persuasion directed at the public,
to modify attitude and action (melakukan persuasi kepada
masyarakat dalam rangka merubah sikap dan tindakan yang perlu mereka lakukan
terhadap sekolah)
3.
Effort to integrated attitudes and
action of institution with its public and of public with the institution (suatu
upaya untuk menyatukan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh sekolah dengan
sikap dan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat secara timbal balik, yaitu
dari sekolah ke masyarakat dan dari masyarakat ke sekolah.
Berdasarkan
pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan sekolah dan masyarakat
sebagai suatu “proses kegiatan menumbuhkan dan membina saling pengertian kepada
masyarakat dan orang tua murid tentang visi dan misi sekolah, program kerja
sekolah, masalah-masalah yang dihadapi serta berbagai aktivitas sekolah
lainnya”.
Menurut
Akmad Sudrajat (2010) Pemahaman masyarakat yang mendalam, jelas dan
konprehensip tentang sekolah merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya
dukungan dan bantuan mereka terhadap sekolah. Untuk itu sekolah perlu memberikan
penjelasan secara periodik kepada masyarakat tentang program-program pendidikan
di sekolah, masalah-masalah yang dihadapi dan kemajuan-kemajuan yang dapat
dicapai oleh sekolah (berfungsi sebagai akuntabilitas). Agar pemahaman program
oleh masyarakat menyentuh hal yang mendasar, maka harus dimulai dengan
penjelasan tentang visi dan misi serta tujuan sekolah secara keseluruhan. Apabila
penjelasan-penjelasan tersebut dipahami masyarakat dan apa yang diinginkan
serta program-program tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka
penghargaan mereka terhadap sekolah akan tumbuh. Tumbuhnya penghargaan inilah
yang akan mendorong adanya dukungan dan bantuan mereka pada sekolah. Dengan
demikian maka program sekolah harus seiring dengan kebutuhan masyarakat. Karena
memang pelanggan dan pengguna hasil lulusan sekolah adalah masyarakat. Atau
dengan kata lain pelanggan sekolah itu pada hakekatnya adalah siswa dan orang
tua siswa serta masyarakat. Karena itu kebutuhan dan kepuasan pelanggan
merupakan hal pokok yang harus diperhatikan oleh lembaga sekolah. Sebagai
contoh, Bagaimana masyarakat mau membantu sekolah apabila sekolah di tengah masyarakat
religius dan fanatik, sekolah tidak pernah memprogramkan kegiatan sekolah
yang bersifat religius, sehingga sekolah terisolir dari masyarakatnya. Sekolah
menjadi menara gading bagi lingkungan masyarakatnya sendiri. Kondisi ini yang
mendorong masyarakat untuk tidak terlibat apalagi berpartisipasi membantu
sekolah.
Dengan
demikian peran serta masyarakat dalam pendidikan sangat dibutuhkan untuk
menyempurnakan peran yang sudah ada dengan lebih terarah dan terencana dengan
baik sehingga kepedulian masyarakat terhadap pendidikan sangat tinggi dengan
aktif berperan serta sesuai dengan tata laksana yang benar. Pendidikan tanpa
dukungan dan keikutsertaan masyarakat dalam mensukseskannya akan menyebabkan malproduct
dan hanya mengejar status bukan keahlian dan mengantisipasi kebutuhan
masyarakat. (Abu
Hadfi Effendi, 2008)
Menurut
Riwayat (2008) Ada beberapa indikator yang menunjukkan rendahnya mutu hasil
pendidikan kita adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap
persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen utama mereka, Salah satu
platform penting lain yang juga diadopsi dalam rangka reformasi pendidikan
nasional adalah pengembangan pendidikan berbasiskan masyarakat. Tujuan
pengembangan platform pendidikan berbasis masyarakat ini, adalah sebagai
berikut :
1.
Membantu
pemerintah dalam mobilisasi sumber daya manusia setempat dan dari luar serta
meningkatkan peranan masyarkat untuk mengambil bagian lebih besar dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan disemua jenjang, jenis dan
jalur pendidikan
2.
Mendorong
perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap rasa kepemilikan sekolah,
tanggung jawab kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima sosial budaya.
3.
Mendukung
inisiatif pemerintah dalam meningkatkan dukungan masyarkat terhadap sekolah,
khususnya orang tua dan anggota masyarkat lainnya melalui kebijakan
desentralisasi.
4.
Mendukung
peranan masyarakat mengembangkan inovasi kelembagaan untuk melengkapi,
meningkatkan, dan mensinergikan dengan peran sekolah, dan untuk meningkatkan
mutu dan relevansi, membuka kesempatan lebih besar dalam memperoleh pendidikan.
Di samping
manfaat seperti diuraikan di atas, pelaksanaan hubungan sekolah dengan
masyarakat yang baik menurut Akhmad Sudrajat (2010) akan memberikan manfaat
lain seperti:
1.
Masyarakat/orang tua murid dan
stakeholders lainnya akan mengerti dengan jelas tentang visi, misi, tujuan dan
program kerja sekolah, kemajuan sekolah beserta masalah-masalah yang dihadapi
sekolah secara lengakap, jelas dan akurat.
2.
Masyarakat/orang tua murid dan
stakeholders lainnya akan mengetahui persoalan-persolan yang dihadapi atau
mungkin dihadapi sekolah dalam mencapai tujuan yang diinginkan sekolah. Dengan
demikian mereka dapat melihat secara jelas dimana mereka dapat berpartisipasi
untuk membantu sekolah.
3.
Sekolah akan mengenal secara
mendalam latar belakang, keinginan dan harapan-harapan masyarakat terhadap
sekolah. Pengenalan harapan masyarakat dan orang tua murid terhadap sekolah,
khususnya sekolah merupakan unsur penting guna menumbuhkan dukungan yang kuat
dari masyarakat. Apabila hal ini tercipta, maka sikap apatis, acuh tak acuh dan
masa bodoh masyarakat akan hilang. Yang menjadi pertanyaan adalah, sudahkah
sekolah mengenal harapan masyarakat? Atau sekarang justru sekolah memaksakan
harapannya kepada masyarakat! Coba kita analisis kondisi tersebut berdasarkan
pengalaman dan penglihatan selama ini dalam praktek penyelenggaraan pendidikan
di tingkat sekolah. Apabila kita belum melakukan hal tersebut, maka sudah
saatnya mulai sekarang sekolah berbenah diri untuk membangun kemitraan dengan
masyarakat/ stakeholders untuk kemajuan sekolah.
C.
Tujuan dan
prinsip hubungan sekolah dengan masyarakat
Pengelolaan
hubungan sekolah dengan masyarakat sebagai salah satu aktivitas yang mendapat
kedudukan setara dengan kegiatan pengajaran, pengelolaan keuangan, pengelolaan
kesiswaan dan sebagainya juga harus direncanakan, dikelola dan dievaluasi
secara baik. Tanpa perencanaan dan pengelolaan serta evaluasi yang baik, tujuan
yang hakiki dari kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat tidak akan
tercapai.
Dari
berbagai uraian di atas menurut Akhmad Sudrajat (2010) dapat disimpulkan bahwa
hubungan sekolah dengan masyarakat sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan:
1.
Kualitas pembelajaran. Kualitas
lulusan sekolah dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor hanya akan
dapat tercipta melalui proses pembelajar di kelas maupun di luar kelas. Proses
pembelajaran yang berkualitas akan dapat dicapai apabila didukung oleh berbagai
pihak termasuk orang tua murid/masyarakat.
2.
Kualitas hasil belajar siswa.
Kualitas belajar siswa akan tercapai apabila terjadi kebersamaan persepsi dan
tindakan antara sekolah, masyarakat dan orang tua siswa. Kebersamaan ini
terutama dalam memberikan arahan, bimbingan dan pengawasan pada anak/murid
dalam belajar. Karena itu peningkatan kemitraan sekolah dengan orang tua murid
dan masyarakat merupakan prasyarat yang tidak dapat ditinggalkan dalam konteks
peningkatan mutu hasil belajar.
3.
Kualitas pertumbuhan dan
perkembangan peserta didik serta kualitas masyarakat (orang tua murid) itu
sendiri. Kualitas masyarakat akan dapat dibangun melalui proses pendidikan dan
hasil pendidikan yang handal. Lulusan yang berkualitas merupakan modal utama
dalam membangun kualitas masyarakat di masa depan.
Ini berarti
segala program yang dilakukan dalam kegiatan hubungan sekolah dengan
masyarakat harus mengacu pada peningkatan kualitas pembelajaran, kualitas hasil
belajar dan kualitas pertumbuhan/ perkembangan peserta didik. Apabila hal
tersebut dapat kita lakukan, maka persepsi masyarakat tentang sekolah akan
dapat dibangun secara optimal. Menurut Akhmad Sudrajat (2010) ada beberapa
prinsip yang harus dipegang sekolah di dalam menjalin hubungan dengan
masyarakat, yaitu:
1.
Integrity. Prinsip ini
mengandung makna bahwa semua kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat harus
terpadu, dalam arti apa yang dijelaskan, disampaikan dan disuguhkan kepada
masyarakat harus informasi yang terpadu antara informasi kegiatan akademik
maupun informasi kegiatan yang bersifat non akademik.
2.
Continuity. Prinsip ini
berarti bahwa pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat, harus dilakukan
secara terus menerus. Jadi pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat
jangan hanya dilakukan secara insedental atau sewaktu-waktu.
3.
Simplicity. Prinsip ini
menghendaki agar dalam proses hubungan sekolah dengan masyarakat yang dilakukan
baik komunikasi personal maupun komunikasi kelompok pihak pemberi
informasi (sekolah) dapat menyederhanakan berbagai informasi yang disajikan
kepada masyarakat. Informasi yang disajikan kepada masyarakat melalui pertemuan
langsung maupun melalui media hendaknya disajikan dalam bentuk sederhana
sesuai dengan kondisi dan karakteristik pendengar (masyarakat setempat).
Prinsip kesederhanaan ini juga mengandung makna bahwa:
·
Informasi yang disajikan dinyatakan
dengan kata-kata yang penuh persahabatan dan mudah dimengerti. Banyak masyarakat
yang tidak memahami istilah-istilah yang sangat ilmiah, oleh sebab itu
penggunaan istilah sedapat mungkin disesuaikan dengan tingkat pemahaman
masyarakat yang menjadi audience.
·
Penggunaan kata-kata yang jelas,
disukai oleh masyarakat atau akrab bagi pendengar.
·
Informasi yang disajikan menggunakan
pendekatan budaya setempat
4.
Coverage. Kegiatan
pemberian informasi hendaknya menyeluruh dan mencakup semua aspek, factor atau
substansi yang perlu disampaikan dan diketahui oleh masyarakat, misalnya
program ekstra kurikuler, kegiatan kurikuler, remedial teaching dan lain-lain
kegiatan. Prinsip ini juga mengandung makna bahwa segala informasi hendaknya
lengkap, akurat dan up to date. Lengkap artinya tidak satu informasipun
yang harus ditutupi atau disimpan, padahal masyarakat/orang tua murid
mempunyai hak untuk mengetahui keberadaan dan kemajuan (progress)
sekolah dimana anaknya belajar.
5.
Constructiveness. Program
hubungan sekolah dengan masyarakat hendaknya konstruktif dalam arti
sekolah memberikan informasi yang konstruktif kepada masyarakat. Dengan
demikian masyarakat akan memberikan respon hal-hal positif tentang
sekolah serta mengerti dan memahami secara detail berbagai masalah (problem
dan constrain) yang dihadapi sekolah.
6.
Adaptability. Program
hubungan sekolah dengan masyarakat hendaknya disesuaikan dengan keadaan di
dalam lingkungan masyarakat tersebut. Penyesuaian dalam hal ini termasuk
penyesuaian terhadap aktivitas, kebiasaan, budaya (culture) dan bahan
informasi yang ada dan berlaku di dalam kehidupan masyarakat.
D.
Pendidikan
kecakapan hidup (life skills) sebagai
alternatif
Diatas
telah disebutkan bahwa masyarakat sebagai pengguna jasa sekolah akan terus
menuntut perubahan dari dunia pendidikan. Perubahan ini dimaksudkan agar out
put lembaga pendidikan masih tetap eksis dan mampu meningkatkan taraf
kehidupan. Sayangnya, perkembangan pendidikan secara kuantitatif ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kualitas
pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul
berbagai ketimpangan pendidikan
di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang
sangat menonjol adalah:
a) ketimpangan antara
kualitas output pendidikan dengan kualifikasi tenaga kerja yang
dibutuhkan oleh dunia kerja dan b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa
dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar penduduk kaya dan penduduk miskin. Untuk
itu dunia pendidikan perlu melakukan dekonstruksi terhadap kurikulum yang
selama ini diterapkan, yaitu dari sistem persekolahan yang hanya mentransfer ilmu
pengetahuan kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni
pengetahuan yang terlalu
bersifat text bookish, menjadi relevan
dengan perkembangan dan
kehidupan yang ada di masyarakat.
Data
statistik persekolahan dari tahun ke tahun menunjukkan, bahwa angka melanjutkan
siswa yang dapat sampai ke jenjang Perguruan Tinggi hanya sekitar 11,6%. Ini
berarti, bahwa sebagian besar siswa (88,4%) tidak melanjutkan pendidikannya
karena berbagai alasan. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan pendidikan yang
berbasis masyarakat luas (broad based education) yang berorientasi pada
kecakapan untuk hidup (Life Skills). (http://pakguruonline.pendidikan.net)
Pendidikan
yang berorientasi pada kecakapan untuk hidup tidak mengubah sistem pendidikan yang ada dan
juga tidak untuk mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Pendidikan
yang berorientasi pada kecakapan untuk hidup justru memberikan kesempatan
kepada setiap siswa untuk memperoleh bekal keterampilan atau keahlian yang
dapat dijadikan sebagai sumber
penghidupannya. Pendidikan yang berorientasi pada kecakapan untuk hidup juga
tidak untuk mendikte lembaga pendidikan dan pemerintah daerah, tetapi hanya
menawarkan berbagai kemungkinan atau menu yang dapat dipilih sesuai dengan
kondisi riil sekolah, baik ditinjau dari
keberadaan siswa-siswanya maupun kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Pendidikan yang berbasis masyarakat luas
(Broad Based Education) merupakan kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang
sepenuhnya diperuntukkan bagi lapisan masyarakat terbesar di negara kita. Dasar
pemikiran penyelenggaraan pendidikan yang berbasis masyarakat luas adalah
kebutuhan riil dari lapisan masyarakat terbesar, yaitu bahwa pendidikan harus
menitikberatkan pada penguasaan kecakapan untuk hidup. Secara teknis filosofis
orientasi pendidikan yang
berbasis masyarakat luas adalah kecakapan untuk hidup (Life Skills)
atau untuk bekerja, bukan semata-mata berorientasi kepada jalur akademik. Untuk
itu sekolah dituntut agar mampu mewujudkan pertautan yang jelas dengan dunia
kerja. Paradigma bersekolah untuk bekerja (school to work) harus
mendasari semua kegiatan pendidikan.
Dengan titik berat pendidikan pada kecakapan untuk hidup (Life Skills)
diharapkan pendidikan benar-benar dapat meningkatkan taraf hidup dan martabat
masyarakat.
Menurut kamus
bahasa inggris life artinya adalah hidup, dan skills adalah
kecakapan, kepandaian dan ketrampilan. (John M.
Ecols & Hasan Sadily, 2000), sedangkan pendidikan kecakapan hidup
menurut Iyoh Mastiyah (2008) bisa diartikan sebagai pendidikan yang memberikan
bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik
tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari agar yang bersangkutan mampu, sanggup
dan terampil menjalankan kehidupannya yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup
dan perkembangannya.
Menurut
Zulkarnaini (2008) kecakapan hidup dapat dipilah atas dua jenis. Kedua jenis
itu adalah kecakapan hidup yang bersifat umum (General Life Skill) dan
kecakapan hidup yang bersifat khusus (Specific Life Skill). Kecakapan
hidup yang bersifat umum adalah kecakapan hidup yang harus dimiliki seorang
untuk dapat melakukan hal-hal yang bersifat umum. Kecakapan hidup yang bersifat
khusus adalah kecakapan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat melakukan
hal-hal yang bersifat khusus. Dengan bekal kecakapan umum dan kecakapan khusus
itu, dimungkinkan seseorang untuk dapat menghadapi kehidupan dengan wajar tanpa
merasa tertekan dan mampu memecahkan masalah hidup dan kehidupannya.
Kecakapan
hidup yang bersifat umum (General Life Skill) dapat dipilah lagi atas
tiga bagian. Ketiga bagian itu adalah kecakapan personal (Personal Skill),
kecakapan sosial (Social Skill), dan kecakapan berpikir (Thinking
Skill). Kecakapan hidup yang bersifat khusus (Specific Life Skill)
dapat pula dipilah atas dua bagian. Kedua bagian itu adalah kecakapan akademika
(Academic Skill) dan kecakapan vokasional (Vocational Skill).
Kelima
kecakapan itu kadang-kadang bisa menyatu dalam dan melebur dalam tindakan.
Tindakan yang menyatukan dan meleburkan kecakapan tersebut biasanya melibatkan
aspek fisik, mental, emosional, dan intelektual. Akan tetapi di dalam
pembelajaran, guru dapat memberikan stresing (penekanan) kepada kecakapan
tertentu.
Kurikulum
Pendidikan Dasar dan Menengah didiversifikasikan sehingga dapat memberikan
bidang pembelajaran sebagai life skills yang sesuai dengan kondisi dan
lingkungan masyarakat setempat.
Menurut
Masitoh dkk. (2009) Keterampilan atau kecakapan hidup (life skills)
merupakan kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi
problema hidup dan kehidupan
secara wajar tanpa
merasa tertekan, dan
kemudian secara proaktif dan
kreatif mencari dan menemukan solusi
pemecahan sehingga mampu mengatasi
berbagai persoalan hidup
dan kehidupan. Keterampilan
hidup bukan sekedar
keterampilan manual dan bukan
pula keterampilan untuk bekerja. Tetapi suatu
keterampilan untuk hidup yang dapat dipilah menjadi lima kategori,
yaitu:
-
Keterampilan
mengenal diri sendiri (self awarness) atau keterampilan personal (personal
skill).
-
Keterampilan
berpikir rasional (thinking skill).
-
Keterampilan
sosial (social skill).
-
Keterampilan
akademik (academic skill).
-
Keterampilan
vokasional (vocational skill).
Menurut
situs http://pakguruonline.pendidikan.net muatan pendidikan vang berorientasi
pada kecakapan hidup hendaknya memuat upaya untuk mengembangkan kemampuan minimal
sebagai berikut:
1. Kemampuan
membaca dan menulis secara fungsional baik dalam bahasa Indonesia maupun salah
satu bahasa asing (Inggris, Arab, Mandarin, dsb.)
2. Kemampuan
merumuskan dan memecahkan masalah yang diproses melalui pembelajaran berfikir
ilmiah, eksploratif, discovery dan inventory.
3. Kemampuan
menghitung dengan atau tanpa bantuan teknologi, untuk mendukung kedua kemampuan
tersebut di atas.
4. Kemampuan
memanfaatkan teknologi dalam aneka ragam lapangan kehidupan seperti teknologi
pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan, kerumahtanggaan, kesehatan,
komunikasi-informasi, transportasi, manufaktur dan industri, perdagangan,
kesenian, pertunjukan, olah raga, jasa, dsb.
5. Kemampuan
mengolah sumber daya alam, sosial, budaya dan lingkungan untuk dapat hidup
mandiri.
6. Kemampuan
bekerja dalam tim yang merupakan tuntutan ekonomi saat ini baik dalam sektor
informal maupun formal.
7. Kemampuan
untuk terus menerus menjadi manusia belajar sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
8. Kemampuan
untuk mengintegrasikan dengan sosio-religius bangsa berlandaskan nilai-nilai
Pancasila.
E.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang
dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat
dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar
serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM
tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan
memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan
masyarakat.
Konsep pendidikan kecakapan hidup (life
skills) yang dibutuhkan masyarakat adalah adalah kecakapan untuk hidup untuk
bekerja, bukan semata-mata berorientasi kepada jalur akademik. Kecakapan hidup
tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1). Kecakapan hidup yang bersifat
umum (General Life Skill) dapat dipilah lagi atas tiga bagian. Ketiga
bagian itu adalah kecakapan personal (Personal Skill), kecakapan sosial (Social
Skill), dan kecakapan berpikir (Thinking Skill). 2). Kecakapan hidup
yang bersifat khusus (Specific Life Skill) dapat pula dipilah atas dua
bagian. Kedua bagian itu adalah kecakapan akademika (Academic Skill) dan
kecakapan vokasional (Vocational Skill).
Implementasi Pendidikan kecakapan hidup dalam
pembelajaran di kelas tidak mengubah sistem pendidikan yang ada dan juga tidak
untuk mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Pendidikan yang
berorientasi pada life skills justru memberikan kesempatan kepada setiap
siswa untuk memperoleh bekal keterampilan atau keahlian yang dapat dijadikan
sebagai sumber penghidupannya.
Pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup juga tidak untuk mendikte lembaga
pendidikan dan pemerintah daerah, tetapi hanya menawarkan berbagai kemungkinan
atau menu yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi riil sekolah, baik ditinjau dari keberadaan siswa maupun
kehidupan masyarakat disekitarnya.
Daftar
pustaka
Ecols,
John M & Hasan Sadily. (2000). Kamus bahasa inggris. Jakarta: Pt.
Gramedia
Effendi,
Abu Hadfi. (2008). Pendidikan
Berbasis Masyarakat. dalam http://re-searchengines.com/0308abu.html
Harjanto.
(2006). Perencanaan pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta Karya
http://pakguruonline.pendidikan.net
Mastiyah,
Iyoh. (2008). Pendidikan kecakapan hidup di Ponpes. Jakarta: Jurnal
Edukasi, Balitbang agama dan keagamaan, volume 6, nomor 3
Masitoh
dkk. (2009). Studi Implementasi Kurikulum Berbasis Kecakapan Hidup (Life
Skills) Pada Jenjang Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian. Vol. 10 Nomor 2
Nielsen,
Dean. (2001). Memetakan konsep pendidikan berbasis masyarakat di Indonesia. Dalam
Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. (editor: Fasli Jalal
& Dedi Supriadi). Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Riwayat.
(2008). Konsep pendidikan berbasis masyarakat. Dalam http://riwayat.wordpress.com/2008/07/02/konsep-pendidikan-berbasis-masyarakat/
di download pada hari Jum’at, 16 September 2011, Jam. 09.25 WIB
Sagala,
S. (2004). Manajemen berbasis sekolah dan masyarakat. strategi memenangkan
persaingan mutu. Jakarta : PT.
Rakasta Samasta
Sudrajat,
Akhmad. (2010). Manajemen peran serta masyarakat. Dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/01/10/
konsep-dasar-manajemen-peran-serta-masyarakat/ di akses pada Jum’at 16
September 2011, jam 09.03 WIB
Tilaar,
H.A.R. (2008). Manajemen pendidikan nasional. Bandung: PT. Remaja Rosda
karya
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Zulkarnaini.
(2008) . Pola pelaksanaan pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup.
Dalam
http://zulkarnaini.net/2008/11/pola-pelaksanaan-pendidikan-berorientasi-kecakapan-hidup-life-skill-education.htm.
diakses, Jum’at 16 September 2011 jam 10.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar