UN dan Matinya Moralitas Pendidik
Oleh : Kasan As’ari *
UN (Ujian Nasional) walaupun sudah berjalan selama 6
tahun dengan kriteria yang berbeda terus menuai kontraversi. Pembicaraan
mengenai UN selalu aktual di media masa, terutama menjelang diselenggarakannya
UN yaitu antara bulan April-Juni.
Para pakar pendidikan baik yang
mendukung UN maupun yang menolak UN dengan berbagai alasan dan data yang
mendukung tampil di media sebagai bentuk perhatian mereka atas nasib pendidikan
bangsa Indonesia.
UN Sebagai salah satu bentuk alat ukur pendidikan (measurement)
dan evaluasi pendidikan secara nasional sebenarnya tidak ada masalah, semua
pakar pendidikan telah sepakat, bahwa keberhasilan pendidikan itu harus di ukur dan di evaluasi. Menurut
Purwanto (2010: 2-3) Tujuan pengukuran (measurenment)
adalah untuk mengetahui apakah proses pendidikan yang berjalan berhasil
sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan atau tidak. Mengukur ini
dilakukan dengan cara membandingkan sesuatu yang diukur itu dengan alat ukurnya
(dalam hal ini kriteria kelulusan). Sedangkan tujuan Evaluasi adalah untuk
pertimbangan pengambilan keputusan setelah diadakannya proses pengukuran.
Melalui evaluasi dapat diketahui dimana letak kelemahan dan letak kelebihan
suatu proses, sehingga kedepan diharapkan ada perbaikan hasil yang dicapai.
Permasalahan UN timbul, ketika UN dijadikan sebagai salah
satu syarat kelulusan dari satuan pendidikan, sedangkan pendidikan kita sudah
menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), sehingga yang paling
berhak menentukan seorang siswa sudah menuntaskan dan berhasil lulus dalam
satuan pendidikan adalah satuan pendidikan yang bersangkutan, dalam hal ini
tentu pendidik yang bersangkutan, bukan pemerintah yang tidak pernah terlibat
dalam kelas tempat proses pembelajaran dilaksanakan. Akan tetapi pemerintah
juga tidak mau kalah karena pemerintah juga memiliki standar kelulusan, karena
pemerintah menginginkan pendidikan yang bermutu tentunya harus mengikuti
kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh pemerintah secara nasional.
Akibat dari kebijakan pemerintah yang melibatkan diri didalam proses kelulusan siswa dari satuan pendidikan, maka sekolah atau satuan pendidikan (terutama sekolah pinggiran) yang mensikapinya dengan cara yang pragmatis. Dibentuklah tim sukses UN yang tujuannya mencari strategi bagaimana agara semua siswanya bisa lulus. segala cara ditempuh, mulai dari guru membantu menjawab dengan simbol-simbol yang sudah disepakati siswa dan guru, DNT (Daftar Nominasi Tetap) siswa diatur berseling, ada yang berburu bocoran soal, ada yang memberi jawaban lewat lembar bayangan dan masih banyak lagi trik yang dilakukan tim sukses agar siswanya bisa lulus semua. Tidak perduli cara itu halal atau haram, jujur atau bohong, mendidik atau tidak yang penting semua siswanya bisa lulus dan pamor sekolah juga akan terangkat naik, dan bisa dipastikan tahun depan pendaftaran siswa baru akan membludak karena orang tua dan siswa pasti menginginkan anaknya lulus.
Perilaku tim sukses yang tentunya juga seorang pendidik
dan pragmatis tersebut, sebenarnya merendahkan martabat pendidik itu sendiri,
apa yang dilakukan oleh pendidik itu hanya memiliki kebenaran yang bersifat temporer. Siswa akan
merasa tertolong dan berterimakasih
kepada tim sukses pada saat itu saja. Sebaliknya untuk jangka panjang, ketika
para siswa sudah beranjak dewasa dan bisa memilah dan memilih antara perbuatan
yang benar dan perbuatan yang buruk, kejujuran dan kebohongan, maka siswa akan
memberikan cap jelek dan salah kepada pendidik pragmatis. Hal ini akan
berdampak matinya wibawa seorang pendidik d ihadapan siswanya sendiri. Pendidik
bukan lagi dianggap sebagai lokomotif pendidikan moral di negeri ini. Apalagi
sebagai sosok yang pantas untuk “di gugu lan di tiru”.
SOLUSI ALTERNATIF
UN sebagai alat ukur dan evaluasi dari pemerintah tetap
dibutuhkan karena berguna untuk mengetahui mutu pendidikan Indonesia secara
nasional dan kaitannya dengan pengambilan keputusan kebijakan kedepan,
akantetapi ketika UN diposisikan sebagai syarat kelulusan dari satuan
pendidikan, maka perilaku pendidik pragmatis akan tetap ada, karena
melibatkan banyak aspek moral, spiritual, sosial, ekonomi dan emosional seluruh
stake holder pendidikan.
Pemerintah harus pro-aktif mensikapi fenomena ini, yaitu
dengan cara tetap melaksankan dan memfasilitasi UN dan menetapkan kriteria
ketuntasan secara nasional sebagaimana mestinya. Akantetapi pemerintah tidak
terlibat dalam penentuan kelulusan siswa. Penentuan kelulusan dikembalikan
kepada satuan pendidikan masing-masing. Biarkan, satuan pendidikan yang
memberikan keputusan dan penilaian akhir. Untuk itu dibutuhkan format ijazah
yang baru, yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya mencantumkan
nilai angka dan huruf. Kedepan ijazah bisa dibuat yang lebih komplek dan
mencantumkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), baik KKM UN maupun KKM US
(Ujian Sekolah). Disini nanti satuan pendidikan yang akan memberikan keputusan
catatan apakah siswa itu lulus dengan kriteria KKM terlampaui, KKM tercapai
atau KKM belum tercapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar