Minggu, 03 Maret 2013

JENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM




Oleh : Kasan As’ari *





Doktrin Agama
Menurut Komarudin Hidayat ada dua sumber penjaga utama agama yaitu teks suci dan tradisi. Teks suci sebagai pengejawantahan wahyu Ilahi telah memberikan pedoman dan aturan-aturan yang jelas tentang peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam menjalani kehidupan, baik pada wilayah domestik maupun publik. Peran dan kedudukan perempuan pada wilayah domestik tidak ada kontraversi karena agama Islam menganggap laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah,  Persamaan itu antara lain dari segi makhluk Tuhan dimuka bumi yang bebas, merdeka, mendapat reward dari Allah dan akan mempertanggungjawabkan perbuatanya di mahkamah pengadilan Tuhan.  Perbedaan manusia hanya pada kualitas ketakwaannya kepada Allah. Pernyataan ini antara lain bisa dilihat pada firman Allah yaitu pada QS. Al Hujrat: 13, Qs. At Taubah : 71 dan Qs. An Nisa : 124.

Peran perempuan pada wilayah publik didalam Islam masih kontraversi, hal ini berangkat dari pemahaman yang masih skripturalis terhadap teks-teks suci yang masih menunjukan superioritas laki-laki daripada seorang perempuan, misalnya pemahaman terhadap QS. An Nisa : 34 dan  QS. Al Baqoroh : 228, masih dipahami bahwa laki-laki masih unggul dibandingkan dengan kaum perempuan, sehingga kaum laki-laki lebih berhak memimpin perempuan. Padahal apabila kita teliti teks-teks suci tersebut tidak turun dengan sendirinya, alias bebas konteks. Konteks dalam hal ini bisa berwujud kasus atau tradisi.  Pada wilayah konteks ini teks-teks suci bisa di tafsir ulang, maksud dan tujuan mulia yang tersirat pada teks suci tersebut bisa di kaji dan di kritisi. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah bahwa teks suci Islam muncul pada masyarakat tradisional yang didominasi oleh peran laki-laki, misalnya Islam lahir di daerah timur tengah yang kental dengan budaya patriakal, dimana peran laki-laki sangat dominan karena kondisi sosiografis pada waktu itu yang banyak menuntut peran laki-laki. Tradisi mengembara dan berperang pada saat itu benar-benar membutuhkan superioritas laki-laki dibandingkan perempuan, sehingga secara psikologis para perempuan lebih nyaman dengan peran domestik dirumah, karena harus mengandung, melahirkan dan menyusui bayi. Suasana tradisi seperti ini berimplikasi jauh terhadap relasi jender, dimana laki-laki lebih nampak sebagai sosok yang “hero”, sedangkan kaum perempuan membalasnya dengan pelayanan dan pemujaan. Akibatnya kaum perempuan jadi lebih tergantung pada sosok laki-laki, sehingga perannya termarginalkan dan tersubordinasikan.  
Dalam posisi yang termarginal dan tersubordinasi tersebut kaum perempuan di timur tengah sulit memperoleh hak-haknya, termasuk hak untuk menuntut ilmu pada suatu lembaga pendidikan, apalagi kalau lembaga pendidikan itu jauh dari rumah dan banyak digeluti oleh kaum laki-laki, karena di timur tengah ada larangan menyetir mobil bagi perempuan dan bepergian sendiri tanpa muhrim.
Fenomena Jender dalam Pendidikan Islam
Satu-satunya agama samawi yang secara tegas mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu tanpa membedakan jender adalah agama Islam. Lima belas abad yang lalu Nabi Muhammad SAW secara tegas menyatakan bahwa kewajiban mencari ilmu adalah fardu ain bagi muslim laki dan perempuan. Ilmu sebagai ruh dari pendidikan mendapatkan kedudukan yang mulia didalam Islam, sehingga orang yang berilmu itu lebih utama daripada orang yang ahli ibadah seperti keutamaan rembulan atas semua bintang-bintang pada malam hari dan keutamaan nabi Muhammad atas semua nabi-nabi.
Apabila Pendidikan kita artikan sebagai sebuah proses, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak beradab menjadi beradab, dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang tidak arif menjadi arif dan dari yang tidak bijaksana menjadi bijaksana, dan proses itu dilakukan oleh keluarga, sekolah dan masyarakat yang biasa disebut trilogi pendidikan, maka ada fenomena menarik didalam pendidikan Islam, yaitu dominasi kaum hawa.
Dominasi kaum hawa telah merambah semua institusi pendidikan, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Pada lingkungan keluarga peran seorang ibu yang dikonotasikan sebagai figur yang penuh perhatian, kasih sayang dan sabar dalam membimbing telah mampu merebut hati anak-anak, sehingga anak lebih dekat dan merasa nyaman ketika belajar dan beraktifitas bersama sang Ibu. Fenomena yang menarik adalah hampir semua pendidik pada usia dini dan kanak-kanak adalah kaum hawa, karena kaum hawa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki kaum adam yaitu, sifat sabar, perhatian dan kasih sayang yang sangat urgen didalam proses pendidikan.
Pada lingkungan sekolah/madrasah, dominasi kaum hawa kentara sekali. MTs, MAN dan PTAIN jurusan tarbiyah sebagai refresentasi pendidikan islam lebih banyak diminati para perempuan daripada laki-laki. Apabila kita perhatikan disekitar kita, maka hampir seluruh Madrasah dan PTAIN  tarbiyah jumlah siswa perempuannya lebih dominan, hal ini menurut Komarudin Hidayat karena adanya alasan klasik yaitu “sindrom cinderella”. Sambil menunggu datangnya “sang pangeran”, lebih baik belajar agama dan ilmu pendidikan, sehingga sewaktu-waktu putus ditengah jalan karena dilamar calon suami, maka ilmu agama dan ilmu pendidikan yang dipelajarinya lebih bermanfaat untuk keluarga dan masyarakatnya daripada bidang keilmuan lain. Sayangnya, jumlah siswa perempuan ini belum diimbangi dengan jumlah pengajar perempuan, sehingga terkesan perempuan belum bisa mewarnai kebijakan pada institusi yang didominasi perempuan tersebut.
Setiap event pendidikan yang melibatkan masyarakat luas, dalam bentuk pengajian umum atau kajian keagamaan, bisa dipastikan yang hadir sebagian besar adalah ibu-ibu. Dalam satu minggu para ibu-ibu bisa mengikuti tiga atau empat pengajian, dari mulai pengajian rutin di Musholla sebelah rumah, Yasinan dan pengajian di tempat tetangga  dan pengajian rutin ibu-ibu tingkat RT. Sedangkan pengajian para bapak biasanya lebih jarang, paling-paling tingkat RT dan itupun biasanya pengunjungnya tidak sebanyak pengajian para ibu.
Rencana aksi dan implikasi
Jika kita amati, sesungguhnya persoalan jender dalam pendidikan islam di Indonesia tidak ada masalah. Kaum perempuan Islam di Indonesia telah memperoleh kesempatan untuk mengembangkan diri lewat pendidikan dan bersaing dengan kaum laki-laki, dibandingkan dengan kondisi kaum perempuan di Timur Tengah. Kaum perempuan Indonesia telah mampu menangkap pesan moral yang penuh dengan tujuan mulia dari teks-teks suci yang diturunkan di Timur Tengah.
Mempersoalkan Jender dalam pendidikan Islam  tidak sesuai dengan nafas Islam, karena Islam menyuruh kepada penganutnya untuk berilmu yang setinggi-tingginya tanpa mempersoalkan jender. Jender dalam pendidikan menjadi masalah yang krusial ketika dibenturkan dengan tradisi masyarakat yang patriakal, akantetapi tidak ada masalah yang berarti, ketika berbenturan dengan tradisi masyarakat yang matriakal, seperti di Minangkabau kaum perempuannya sejak dulu telah menikmati pendidikan yang tinggi dalam semua bidang. Hal yang  berbeda terjadi di Jawa Tengah, karena masyarakat Jawa menganut sistem perkawinan dengan tradisi patriakal, sehingga R.A Kartini ketika memperjuangkan kesetaraan hak-hak kaum perempuan didalam memperoleh pendidikan mengalami hambatan dari orang-orang disekitarnya.
Kesempatan yang telah terbuka lebar tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kaum perempuan dengan terus belajar giat dan berprestasi, tidak hanya dalam bidang pendidikan saja, karena di Era persaingan bebas seperti sekarang ini, hanya orang-orang yang mau terus bekerja dan belajar yang akan bertahan, sedangkan bagi orang-orang yang tidak mau belajar maka akan tereliminasi dari persaingan.
Bagi lembaga pendidikan Islam seharusnya memberikan perhatian khusus kepada kaum perempuan, yaitu dengan memberikan dispensasi saat menstruasi, mengandung dan melahirkan dan juga memberikan beasiswa khusus kepada perempuan karena tanpa itu semua kaum perempuan akan sulit mengejar ketertinggalannya setelah sekian lama dikungkung dalam sistem dan doktrin yang membelenggu.


* Guru PAI DPK di SMP 1 Limbangan Kab. Kendal, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Surakarta Program Beasiswa PAIS Kemenag 2010

Tidak ada komentar: