Sabtu, 12 Oktober 2013

LINGKUNGAN DALAM PENDIDIKAN AQIDAH



LINGKUNGAN DALAM PENDIDIKAN AQIDAH
(Studi Analisis Lingkungan Pendidikan Aqidah Islamiyah di Kalangan Pelajar SMP)

Oleh : Kasan As’ari
A.  PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Menurut Mahmud Syaltut aqidah adalah salah satu bidang (kepercayaan) yang harus dimiliki dulu oleh seorang muslim sebelum yang lain. Kepercayaan itu harus bulat dan penuh, tidak bercampur dengan syak, ragu dan kesamaran. Untuk itu menurut Syaltut akidah hendaknya menurut ketetapan dan keterangan-keterangan yang jelas dan tegas dari ayat-ayat Al qur’an serta telah menjadi kesepakatan kaum muslimin sejak penyiaran islam dimulai.[1] Karenanya didalam struktur Islam, aqidah itu adalah dasar dan diatasnya dibangun syari’at. Sebab itu tidak ada syari’at tanpa aqidah. Maka syari’at tanpa akidah tak ubahnya bagai sebuah bangunan yang tergantung di awang-awang. Bagunan yang kuat memerlukan pondasi yang kuat dan kokoh, kalau pondasinya lemah, maka bangunan itu akan cepat roboh.[2]
Seseorang yang berakidah dengan kuat laksana sebuah pohon yang tumbuh dengan subur, akarnya terhujam kuat kedalam tanah, dahannya rindang, daunnya lebat dan buahnya banyak. Begitu juga dengan seseorang yang berakidah dengan kuat dan benar, maka akan menghasilkan akhlak yang mulia, muamalat yang baik dan ibadah yang tertib.[3]
Begitu juga dengan seorang pelajar yang memiliki aqidah yang benar dan kuat, maka akan nampak akhlaknya yang mulia, ibadahnya yang tertib, prestasinya yang menonjol dan ketaatannya kepada guru. Dia tidak mudah diombang-ambingkan oleh keadaan sekitarnya, jiwanya tenang dan tidak terpengaruh dengan lingkungan yang negatif.
Permasalahanya adalah, tidak mudah menanamkan aqidah yang benar dan kuat pada pelajar yang masih remaja, dikarenakan pada usia remaja (pra adolesen - adolesen) seringkali seorang pelajar mengalami kegoncangan, hal ini sebagai akibat dari pertumbuhan fisik yang cepat, sehingga menimbulkan ketidakserasian diri, kekurangharmonisan gerak dan sifat keingintahuan yang besar, sehingga kadang-kadang mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai agama dan lingkungan dimana dia tinggal.[4]
Gambaran remaja akan Tuhan dengan sifat-sifatNya juga merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya, serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat remaja itu sendiri. Keyakinan beragama pada remaja merupakan interaksi dia dan lingkungannya. Pada lingkungan yang penuh keindahan yang harmonis, tentram, damai dan serasi, maka akan tumbuh kekaguman remaja tersebut akan sifat Tuhan yang mencipta seluruh keindahan, keserasian dan ketentraman, sehingga kepercayaannya akan Tuhan bertambah. Sebaliknya apabila remaja tersebut dihadapkan pada lingkungan yang penuh dengan kekecewaan, kekacauan, ketidakadilan, penderitaan dan kedzaliman, maka akan tumbuh sifat kecewa terhadap Tuhan, bahkan kadang-kadang sampai mengingkari kekuasaan Tuhan.[5]
Pertentangan antara nilai-nilai agama yang dia pelajari dengan realitas sosial yang ada, terutama oleh lingkungan dia berada, orang tua, guru, mubaligh dan sebagainya, menyebabkan dia gelisah dan bersifat tak acuh dengan agama. Agama seolah-olah hanya dijadikan simbol, legitimasi kekuasan dan terpisah dengan moralitas. Keadaan inilah menurut Fazlur Rahman sebagaimana dikutip oleh Sutrisno sebagai kepribadian yang memiliki standar moral ganda, dimana satu sisi para remaja itu menjalankan ritual keagamaan akan tetapi disisi lain kemasiatan juga dia kerjakan.[6]
Disinilah pentingnya peran lingkungan dalam menciptakan aqidah islamiyah yang kuat dan benar. Lingkungan (milieu) baik fisik maupun non fisik sangat mempengaruhi pribadi peserta didik. Menurut Az-Zarnuji, sebagaimana dikutif oleh Busyairi Madjidi lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap peserta didik adalah pergaulan, disamping faktor gen atau keturunan.[7] Hal ini diperkuat dengan firman Allah dalam Qur’an Surat Al-A’raf ayat 58.
à$s#t7ø9$#ur Ü=Íh©Ü9$# ßlãøƒs ¼çmè?$t6tR ÈbøŒÎ*Î/ ¾ÏmÎn/u ( Ï%©!$#ur y]ç7yz Ÿw ßlãøƒs žwÎ) #YÅ3tR 4 y7Ï9ºxŸ2 ß$ÎhŽ|ÇçR ÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbráä3ô±o ÇÎÑÈ
Artinya : Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah, dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur (Qs. Al-A’raf : 58).[8]

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik rumusan masalah yang akan dijawab oleh tulisan makalah ini, diantaranya  yaitu :
-          Apa saja lingkungan pendidikan aqidah islamiyah ?
-          Bagaimana Lingkungan yang baik dalam pendidikan aqidah islamiyah ?

B.   PEMBAHASAN
1.      Realitas Sosial
Sebagai seorang pendidik saya sangat kaget, ketika mendapatkan salah satu siswa putra sedang makan permen pada saat bulan ramadhan. Padahal siswa tersebut sudah kelas 8 SMP, yang semestinya sudah mendapatkan materi tentang puasa wajib pada waktu kelas 7. Tidak mau ambil resiko dengan ulah anak tersebut, saya langsung mengajak anak tersebut ke ruang BK (Bimbingan dan Konseling). Singkat kata anak tersebut bercerita, mengapa dia tidak berpuasa, dikarenakan dia tidak berani bangun untuk sahur. Ternyata orang tua dari anak tersebut juga tidak berpuasa, sehingga ketika dia mau berpuasa, maka dia nasibnya seperti anak ayam yang ditinggal induknya.
Saya selalu mengamati perilaku anak-anak ketika mau sholat dhuhur berjama’ah. Mereka tidak segera bergegas mengambil air wudhu, walaupun adzan sudah berkumandang, berbeda dengan jadwal pulang, apabila bel tanda pulang sudah dibunyikan, mereka selalu bergegas dan keceriaan nampak diwajah mereka. Saya pikir, apakah sekolah memang sudah menjadi penjara bagi mereka, sehingga ketika mereka harus pulang, maka terpancar kegembiraan yang luar biasa, karena akan bebas dari penjara intelktual. Akhirnya melalui pendekatan personal kepada anak-anak yang sering telat sholat jama’ahnya saya mendapatkan informasi, bahwa yang membikin mereka enggan lekas-lekas sholat berjama’ah dikarenakan bapak / ibu guru dan TU juga banyak yang tidak sholat jama’ah, padahal mereka juga lebih wajib karena mereka adalah orang dewasa.
Ketika saya masuk kelas 7 dan saya tanyakan siapa yang tadi pagi sholat subuh, maka yang mengacungkan tangan, tanda mereka telah sholat subuh hanya separo dari jumlah siswa. Ini miris sekali, karena kebanyakan mereka yang perempuan telah haid dan yang laki-laki sudah pernah mimpi basah. Saya cecar dengan pertanyaan, apakah kalau  tidak sholat  orang tua kamu tidak menegur atau marah ? Jawaban yang seakan menampar kumping ini adalah, bahwa orang tua mereka acuh dengan ketertiban sholat mereka, karena orang tuanya juga tidak sholat.[9]
Indonesia saat ini mengalami darurat pornografi, karena berdasarkan survey Yayasan Kita dan buah Hati dihadapan komnas Perlindungan Anak, sejak tahun 2008-2010, 67 persen dari 2.818 anak SD pernah mengakses informasi pornografi. Untuk anak SMP dan SMA tentu lebih banyak.[10] Menurut harian Suara Pebaharuan, tahun 1999 sampai dengan 2001 terjadi 465 kasus tawuran pelajar di Jakarta, dan yang ditangkap 3.949 pelajar. Sementara 10.000 pelajar SMP dan SMA menjadi korban Narkoba di Jakarta.[11]
Kejadian-kejadian yang dialami remaja diatas, sebenarnya adalah fenomena gunung es, artinya itu hanya yang terekspose oleh media dan kenyataan dilapangan tentu lebih banyak lagi. Apabila kita perhatikan, sumber dari segala sumber perilaku diatas adalah kurangnya pengamalan aqidah dari sebagian besar remaja kita. Pendidikan aqidah yang menjadi dasar dan ruh dari pendidikan agama islam kurang (kalau tidak bisa dikatakan gagal) menyentuh kalbu, dan mengilhami serta dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari oleh para pelajar kita, padahal persolan aqidah adalah yang utama dan sangat sentral dalam kehidupan di dunia dan akherat.[12]
2.    Landasan Teoritik
a.         Pengertian Lingkungan Pendidikan
Lingkungan secara umum diartikan sebagai kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidupa lainnya. [13] Lingkungan juga diartikan sebagai segala sesuatu yang ada disekitar suatu benda yang mempunyai pengaruh terhadap benda-benda itu.[14]Sehingga lingkungan bisa diartikan juga sebagai segala sesuatu yang ada diluar individu,[15]baik yang bersifat statis maupun bersifat dinamis.[16]
Menurut Sartain (seorang ahli  psikologi Amerika) yang dikutip oleh Ngalim Purwanto mendefinisikan lingkungan sebagai segala sesuatu kondisi-kondisi dalam dunia ini yang didalamnya meliputi cara-cara tertentu dan mempengaruhi tingkah laku kita, pertumbuhan dan perkembangan atau life processes kita, kecuali gen-gen, bahkan gen-gen bisa juga dipandang sebagai menyiapkan lingkungan (to Provide environment) bagi gen yang lain.[17]
Lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan alam hayati, lingkungan alam non hayati, lingkungan buatan dan lingkungan sosial.[18] Sedangkan Sartain membagi lingkungan menjadi tiga, yaitu 1). Lingkungan alam/luar, 2). Lingkungan dalam, dan 3). Lingkungan Sosial/Masyarakat.[19]  
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1). Lingkungan fisik, 2). Lingkungan nonfisik. Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang dapat dilihat dan diraba secara langsung dengan panca indera, sedangkan lingkungan non fisik adalah segala sesuatu yang memberi pengaruh terhadap lingkungan fisik, namun tidak bisa dilihat dan diraba secara langsung dengan panca indera.[20]
Pendidikan adalah bimbingan secara sadar dari pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya manusia yang memiliki kepribadian yang ideal.[21] Sedangkan menurut UU N0. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[22]
Lingkungan pendidikan dapat diartikan sebagai berbagai faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap praktek pendidikan[23] dan dapat difungsikan sebagai sumber belajar baik langsung maupun tidak langsung.[24]
b.         Jenis-Jenis Lingkungan Pendidikan
Mengacu pada pengertian lingkungan pendidikan seperti tertulis diatas, maka lingkungan pendidikan dapat dibedakan atau dikategorikan menjadi 3 macam lingkungan,  yaitu (1) lingkungan pendidikan keluarga, (2) lingkungan pendidikan sekolah, (3) lingkungan pendidikan masyarakat. Ketiga lingkungan tersebut biasa disebut tripusat pendidikan.[25]

1. Lingkungan Pendidikan Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama dialamai oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh adn berkembang dengan baik. Pendidikan keluarga disebut pendidikan utama karena di dalam lingkungan ini segenap potensi yang dimiliki manusia terbentuk dan sebagian dikembangkan. Bahkan ada beberapa potensi yang telah berkembang dalam pendidikan keluarga.[26]
Pendidikan keluarga dapat dibedakan menjadi dua yakni :
a).  Pendidikan prenatal (pendidikan sebelum lahir)
Merupakan pendidikan yang berlangsung selama anak belum lahir atau masih dalam kandungan. Pendidikan prenatal lebih banyak dipengaruhi kebudayaan lingkungan setempat.  Dalam kehidupan yang lebih modern sekarang ini, terdapat pula model pendidikan prenatal. Seperti mendengarkan lagu-lagu klasik, senandung ayat-ayat suci  selama anak masih dalam kandungan, melakukan pemerikasaan rutin ke dokter kandungan atau mengkonsumsi nutrisi yang baik bagi si jabang bayi adalah contoh-contoh pendidikan prenatal dalam kehidupan modern.[27] Bahkan didalam Islam pendidikan prenatal dimulai jauh sebelum kelahiran, yaitu mulai dari pemilihan bibit penyemaian (jodoh), cara melakukan penyemaian (bersetubuh), baru kemudian melangkah ke tahap pendidikan dalam kandungan sampai dengan proses kelahiran.[28]
Secara sederhana pendidikan prenatal dalam keluarga bertujuan untuk menjamin agar si jabang bayi sehat selama dalam kandungan hingga nanti pada akhirnya dapat terlahir dengan proses yang lancar dan selamat.
b) Pendidikan postnatal (pendidikan setelah lahir)
Merupakan pendidikan manusia dalam lingkungan keluarga di mulai dari manusia lahir hingga akhir hayatnya. Segala macam ilmu kehidupan yang diperoleh dari keluarga merupakan hasil dari proses pendidikan keluarga postnatal. Dari manusia lahir sudah diajari dengan aqidah islamiyah, yakni dengan diperdengarkan kalimat tauhid berupa adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri sang bayi, harapannya adalah agar si jabang bayi nantinya didalam mengarungi kehidupan senantiasa mengutamakan aqidah islamiyah.[29]
Pendidikan nilai-nilai agama sebagian besar dimulai dari keluarga,[30] sekolah sifatnya hanya melanjutkan apa yang sudah didapatkan dalam keluarga. Perbedaan yang sangat menonojol antara pendidikan di lingkungan keluarga dengan di lingkungan sekolah adalah pada tugas dan tanggung jawab. Pada lingkungan keluarga orang tua melakukan tugas pendidikan adalah kodrati dari Tuhan, sedangkan guru pada lingkungan sekolah adalah tugas profesi yang dibebankan pemerintah. Pendidikan dalam keluarga lebih ditekankan pada pemelihara dan penanaman nilai-nilai etika, agama, norma dll, sedangkan pendidikan sekolah hanya melanjutkan dan mengembangkan intelektualitas, ketrampilan yang berhubungan dengan kebutuhan anak untuk hidup ditengah masyarakat.[31]
 Lingkungan pendidikan keluarga secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : 1). Lingkungan fisik dan 2). Lingkungan nonfisik. Yang termasuk lingkungan fisik yaitu; rumah, orang tua, saudara dan perabot-prabot rumah yang berupa fisik, seperti (motor, TV, Komputer dll.). sedangkan yang termasuk lingkungan nonfisik adalah pola interaksi antar anggota keluarga, antara orang tua dengan anak, dengan saudara yang masih keluarga besar. Pola interaksi ini sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan kebiasaan, kepribadian, sikap dan nilai anak,[32]bahkan terhadap agama sang anak. Sebagaimana sabda nabi SAW :
مامن مولودالا يولد على الفطرة , فأبواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه (رواه البخارى)
Artinya : Tidak dilahirkan seorang anak kecuali dalam dalam keadaan fitrah, Orang tuanya yang menjadikan dia yahudi atau nasrani atau majusi”. (HR. Bukhori)

2.   Lingkungan Pendidikan Sekolah
Di antara tiga pusat pendidikan, sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Karena kemajuan zaman, keluarga tidak mungkin lagi memenuhi seluruh kebutuhan dan aspirasi generasi muda terhadap iptek. Semakin maju suatu masyarakat semakin penting peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses pembangunan masyarakat itu.[33]
Peranan sekolah sebagai institusi adalah sebagai lembaga pendidikan yang mengembangkan potensi manusiawi yang dimiliki anak-anak agar mampu menjalankan tugas-tugas kehidupan sebagai manusia, baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat.[34]
Iklim sekolah yang positif merupakan suatu kondisi, dimana keadaan sekolah dan lingkungannya dalam keadaan aman, damai, menyenangkan untuk belajar mengajar.[35] Lingkungan yang seperti itu mampu mengembangkan seluruh potensi pendidikan sekolah sehingga bermutu tinggi.
Pembinaan yang dipikul oleh lingkungan sekolah meliputi :
a.              Meneruskan dan mengembangkan pendidikan yang telah diletakan oleh orang tua di rumah atau lingkungan sosial.
b.             Mengarahkan dan meluruskan dasar-dasar pendidikan yang mungkin salah pada awalnya.
c.              Meletakan dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan untuk dikembangkan selanjutnya.
d.             Mempersiapkan anak didik dengan pengetahuan dasar untuk menghadapi lingkungan sosialnya. Agar dapat bersosialisasi dengan baik.[36]
Lingkungan pendidikan di sekolah juga bisa dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu : 1). Lingkungan fisik, meliputi : Gedung sekolah, Perpustakaan, buku-buku, tempat ibadah, guru, murid, karyawan dll. 2). Lingkungan non fisik, meliputi : model pembelajaran, strategi pengajaran, pola hubungan murid dengan guru, hubungan sekolah dengan masyarakat sekitar dll.
3.   Lingkungan Pendidikan Masyarakat
Lingkungan masyarakat adalah sekumpulan manusia yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan dan saling berinteraksi sesamanya untuk mencapai tujuan.[37] Kaitan antara lingkungan masyarakat dan pendidikan dapat ditinjau dari tiga segi yaitu:
1.         Masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan, baik dilembagakan maupun yang tidak dilembagakan.
2.         Lembaga-lembaga kemasyarakatan dan/atau kelompok sosial di masyarakat, baik langsung  maupun tidak langsung, ikut mempunyai peranan dan fungsi edukatif.
3.         Dalam masyarakat tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang maupun yang dimanfaatkan.[38]
Secara struktural fungsional masyarakat ikut mempengaruhi terbentuknya sikap sosial anggotanya, yaitu melalui berbagai pengalaman yang berulang kali. Pendidik dalam masyarakat adalah orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap proses pendewasaan para anggotanya. Biasanya secara fungsional peran ini diambil alih oleh para pemimpin masyarakat (lurah, RT, RW, Ulama dll).[39]
Menurut Ngalim Purwanto, sifat dan watak kita adalah hasil interaksi antara pembawaan (heredity) dengan lingkungan kita, karena itu tiap-tiap orang adalah unik. Setiap individu senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dalam artian mengubah diri sesuai dengan lingkungannya atau mengubah lingkungannya sesuai dengan keinginannya.[40]
Didalam agama islam ada kewajiban untuk berperan dalam pendidikan dilingkungan masyarakat, sesuai dengan sabda Nabi SAW  yang artinya:
من رأى منكم منكرا فليغيربيده,فإن لم يستطع فبللسانه,وإن لم يستطع فبلقلبه,وذاللك اضعف الايمان (رواه المسلم)
Artinya : “Barangsiapa melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu, jika tidak mampu maka dengan lisanmu, jika tidak mampu maka dengan hatimu, dan ini adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)

Menurut Zakiah Daradjat persoalan yang sering muncul pada diri remaja adalah dengan lingkungannya. Remaja sejak usia 7 tahun sampai dengan 16 tahun  cenderung membuat kelompok atau gang. Mereka pada saat itu mengalami goncangan karena pada saat itu tidak mendapat kedudukan dan penghargaan dari masyarakat. Si remaja sedang berjuang untuk menemukan jatidiri dan penghargaan orang dewasa. Kalau tanggapan dari orang-orang dewasa tidak memuaskan, maka  mereka akan mencari pelarian dengan teman pergaulan yang sama-sama mengalami kegoncangan. Akibatnya mereka mudah mengidentifikasi diri dan menentang terhadap guru, orang tua dan masyarakat. Jadi faktor yang sangat dominan mempengaruhi sikap dan kepribadian remaja adalah teman pergaulan.[41]
Lingkungan Pendidikan masyarakat ini juga bisa dibedakan menjadi lingkungan yang bersifat fisik dan non fisik. Yang bersifat fisik diantaranya adalah anggota masyarakat, tempat ibadah, tata tertib yang ada dimasyarakat dll, sedangkan yang bersifat non fisik yaitu berupa pola hubungan anggota masyarakat dan pola hubungan antara anggota masyarakat dengan masyarakat lain.
c.       Pendidikan Aqidah Islamiyah
 Secara etimologi aqidah berasal dari kata aqoda-ya’qidu-aqdan-aqidatan yang berarti simpulan ikatan, perjanjian dan kokoh.[42]sehingga aqidah itu bisa diartikan sebagai keyakinan yang tersimpul didalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.[43]
Secara terminologi aqidah menurut Hasan al Bana yang dikutip oleh Yunahar Ilyas adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.[44] Secara teknis aqidah diartikan juga dengan iman, kepercayaan dan keyakinan. Jadi yang dinamakan aqidah islam itu adalah kepercayaan dan kayakinan atas dasar atau menurut ajaran islam.[45]
Berdasarkan uraian diatas, maka pendidikan aqidah islamiyah bisa didefinisikan sebagai bimbingan secara sadar dari pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya manusia agar memiliki keyakinan yang benar dan kuat didalam hati dan diwujudkan dalam sikap, kepribadian dan amal perbuatan yang shaleh sesuai dengan ajaran islam.
Pembahasan dalam pendidikan aqidah bisa mengikuti sistematika rukun iman, yaitu dimulai dari iman kepada Allah sampai dengan Iman kepada Qodho dan Qodar.[46]Sedangkan Mahmud Syaltut lebih cenderung dengan sebutan Aqidah, Syariah dan Muamalah.[47]
Hal yang paling membedakan antara aqidah islamiyah dengan aqidah agama lain, menurut Amin Rais adalah Tauhid yang masih murni dan belum diselewengkan.[48]Tauhid disini tidak cukup hanya dengan mengatakan atau meyakini bahwa Allah satu-satunya Tuhan yang mencipta alam semesta (Rububiyah), akan tetapi lebih dari itu, harus pula meyakini bahwa Allah satu-satunya Tuhan yang patut disembah.[49]
Para sarjana muslim dan ulama islam telah menamakan taklif yang berhubungan dengan ilmu dengan sebutan aqidah, sedangkan taklif yang berhubungan dengan amal perbuatan dengan sebutan syari’ah atau cabang.[50]keyakinan itu harus diterjemahkan kedalam perbuatan amal saleh dan membudaya sehingga amal seseorang itu membuktikan keyakinan didalam hatinya.[51] Syarat agar keyakinan itu menghujam kedalam hati, yaitu apabila 1). Tiruan dan anggapan tersebut telah berulang sedemikian rupa, sesuai dengan hukum: sesuatu yang diulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang diulang-ulang akan menjadi adat. Adat yang diulang-ulang akan menjadi sifat. Kumpulan sifat-sifat adalah kepribadian. 2). Dalam dalil yang dikemukakan itu sedemikian tepat dan benarnya serta cukup banyak, sehingga tidak ada jalan lagi untuk membantahnya.[52]
3.      Analisis
Walaupun setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu memiliki potensi atau daya untuk mengenal Allah (Iman kepada Allah)[53], namun dalam melaksanakan pendidikan aqidah kita harus meninggalkan faham nativisme dan beralih kepada faham empirisme dan konvergensi.[54]
Aqidah yang kuat tertancap dilubuk hati yang dalam, tidak datang dengan serta merta, butuh usaha sadar yang tekun dan butuh waktu yang lama, mulai dari proses pencarian jodoh, perkawinan, senggama, kelahiran dan proses pendidikan setelah kelahiran harus dilakukan dengan sadar dan sungguh-sungguh dengan didukung oleh berbagai faktor, diantaranya adalah lingkungan yang agamis.[55]Lingkungan yang religius dapat menciptakan pribadi-pribadi yang religius, yang taat akan ajaran agama, menghayati dan meyakini apa yang dilakukan bukan hanya sekedar dogma yang kosong tanpa makna.[56]
Seandainya lingkungan itu tidak berpengaruh kepada perkembangan dan kepribadian manusia, tentu nabi SAW tidak akan mensabdakan dua hadits diatas. Sebagai manusia yang maksum Nabi SAW tahu, bahwa umatnya diakhir zaman akan berhadapan dengan keadaan atau lingkungan yang sangat berat, sehingga semua umat islam berkewajiban untuk mendidik, baik dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal ini juga tercermin pada perilaku nabi SAW ketika membangun Islam,  pada awalnya adalah membangun aqidah umat yang kuat. Karena dari aqidah yang kuat akan lahir genarasi muslim yang tangguh, yang bisa membesarkan islam dalam setiap gerak langkahnya.
Pada hadits yang pertama, “Tidaklah dilahirkan seorang anak kecuali dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi atau Nasrani atau Majusi” lebih bersifat konvergensi. Artinya setiap anak memang membawa bakat atau potensi keimanan akan tetapi pada perjalanan waktu, Lingkungan keluargalah yang sangat berpengaruh dalam penanaman keimanan dan nilai-nilai agama, kemudian dilanjutkan kepada lingkungan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Zakiah Daradjat, bahwa penanaman nilai-nilai agama hendaknya dimulai dari keluarga, setiap tindak tanduk dan perbuatan anggota keluarga harus dijiwai dengan nilai agama, maka dengan sendirinya agama akan menjadi kebiasaan dan kepribadian dari sang anak, hal ini dilakukan terutama pada masa-masa belajar pasif.[57]Lingkungan keluarga yang mendukung penanaman aqidah adalah lingkungan yang islami, aman, tentram, damai dan penuh kasih sayang antar anggota keluarga. Karena pada tahap pra adolesen – adolesen pengetahuan anak akan Tuhan dan segala sifat-sifatnya masih bersifat konkrit (nyata) dalam kehidupan sehari-hari.
Pada hadits yang kedua “Barangsiapa melihat kemungkaran...”lebih bersifat empirisme. Artinya setiap pribadi muslim memiliki tanggung jawab mendidik dengan cara berperan serta menciptakan lingkungan yang agamis, damai, tenang dan tentram menurut kadar kemampuan masing-masing. Penciptaan lingkungan yang agamis dan mampu menumbuhkembangkan aqidah islamiyah tidak bisa dibebankan hanya kepada sekelompok manusia saja, akantetapi semua anggota masyarakat harus terlibat, terutama pengawasan kepada remaja yang sudah memiliki kecenderungan membuat kelompok/gang. Jika anggota kelompok/gang itu tidak diarahkan dalam suasana yang agamis, maka akan muncul perilaku-perilaku menyimpang. Sebagaimana pendapat Ngalim Purwanto, bahwa sifat dan watak kita adalah hasil interaksi antara pembawaan dengan lingkungan sosial kita.[58] Semakin banyak berinteraksi maka potensi untuk terpengaruh semakin besar, karenanya pada usia remaja teman pergaulan sangat mempengaruhi, sikap dan watak kepribadian remaja tersebut.
Sebagai orang dewasa memiliki kewajiban mendidik masyarakat, khususnya kaum remaja, yaitu dengan menjadi tauladan yang baik pada pengamalan aqidah islamiyah. Hal ini dilakukan agar para remaja terhindar dari konflik nilai. Apa yang diajarkan di sekolah sesuai dengan yang dipraktekan anggota keluarga dan masyarakat. Hal ini juga untuk menghindari kepribadian  moral ganda pada diri remaja.[59]Kemudian kita juga wajib membantu para remaja menemukan jatidiri dan keluar dari kegoncangan dengan cara menciptakan lingkungan yang harmonis, damai, saling pengertian, penuh kasih sayang dan saling menghargai dengan dilandasi aqidah islamiyah dan amal yang shaleh. Dengan penciptaan lingkungan yang mendukung, maka cita-cita Izzul Islam wal muslimin akan mudah dicapai.[60]
Lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pembentukan aqidah islam adalah yang bersifat non fisik, walaupun lingkungan yang bersifat fisik juga berpengaruh. Karena aqidah itu ditanamkan didalam hati, maka pendekatan yang kita gunakan adalah pendekatan psikologis dengan lebih menekankan pada ranah afektif. Setelah aqidah diyakini dan terhujam dihati maka dilanjutkan dengan ranah psikomotorik dan kognitif.

C.  PENUTUP / KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas ada beberapa temuan dan kesimpulan yang bisa diambil, diantaranya : Lingkungan Pendidikan dalan aqidah islamiyah adalah Lingkungan pendidikan keluarga, lingkungan pendidikan sekolah dan lingkungan pendidikan masyarakat. Lingkungan ini ada yang bersifat fisik dan ada yang bersifat non fisik.
Dari lingkungan itu yang paling dominan mempengaruhi aqidah seorang remaja adalah lingkungan non fisik karena aqidah itu pada mulanya adalah persoalan keyakinan yang tertanam didalam hati sehingga lebih dominan pada ranah afektif dan tercermin dalam kepribadian dan perilaku sehari-hari yang dominan pada ranah psikomotorik. Untuk itu pendidikan aqidah islamiyah harus lebih menonjol pada kedua ranah tersebut.
Pendidikan aqidah yang baik dimulai dari lingkungan keluarga. lingkungan keluarga yang islami, aman, tentram, damai dan penuh kasih sayang antar anggota keluarga  akan menumbuhkan aqidah islamiyah yang benar dan kuat pada pribadi remaja. Sebaliknya lingkungan keluarga yang carut marut, penuh dengan permusuhan, dusta, iri, dengki dan berbagai kemaksiatan akan menimbulkan pendidikan aqidah pada remaja tidak baik.
Begitu juga dengan lingkungan pendidikan sekolah dan masyarakat yang baik, agamis, harmonis, penuh pengertian, tanggung jawab, penuh kasih sayang, saling menasehati dalam setiap kebaikan dan menegur dalam keburukan akan menumbuhkan aqidah islamiyah yang baik. Sebaliknya apabila disekolah dan masyarakat tidak ada sikap saling menghormati, kasih sayang dan menjauhi kemaksiatan maka tidak akan tercapai tujuan pendidikan aqidah islamiyah yang baik.








Daftar Pustaka
Al Munawir, A. Warson, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, cet. Ke-14, Surabaya:Pustaka Progressif, 1997
Al-Qur’an dan Terjemahnya,Bandung: Pt. Sygma Examedia Arkanleema, tth
As’ari, Kasan dkk, makalah Pendidikan Dalam Lingkungan Keluarga, , tt, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 2001
Bahari, Toleransi Beragama Mahasiswa, Studi Tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, Dan Lingkungan Pendidikan Terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama Pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri, Jakarta: Balitbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2010
Daradjat, Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1971
Fuaduddin dkk. dalam Jurnal Edukasi, Mencetak Generasi Muslim Kaffah, Studi tentang Sistem Pendidikan, Paham dan Jaringan Keagamaan Pondok Pesantren Islam “Al Islam” Tenggulun Lamongan, Jakarta: Puslitbang Agama dan Keagamaan, 2003
Furqona, Rama, Hubungan Antara Kesadaran Beragama dan Kematangan Sosial dengan Agresivitas Remaja (santri) Pondok Pesantren Assalam Surakarta, Jakarta: Puslitbang Agama dan Keagamaan, 2003
Harian Umum Suara Merdeka, edisi Senin, 25 April 2011
Ihsan, Fuad,  Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005
Ilyas, Yunahar,  Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta: LPPI UMY, 2009
Jalaludin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997
Madjid, Nurcholish, Tasawuf dan Pesantren, dalam Dawam Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan, Cet. Ke-5, Jakarta: LP3ES, 1995
Madjidi, Busairi,  Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: Al-amin Press, 1997
Muhaimin et. Al, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya mengefektifkan Pendidikan Islam di sekolah, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002
Munsoji, Faktor-Faktor Pendidikan Pada Pondok Pesantren Ihyaussunah Yogyakarta,Yogyakarta: Skripsi Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 2001
Nasih Ulwan, Abdullah,  Tarbiyatul Aulad Fil Islam, Cet. III, terj. Saefullah Kamalie dan Hery Noor Ali Semarang: As Syifa, , 1997
Purwanto, M. Ngalim, Psikologi Pendidikan, Cet. Ke 12 Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999
Rais, Amin, Tauhid Sosial : Formula Menggempur Kesenjangan,Bandung: Mizan, 1998
Rohani, Ahmad, Pengelolaan Pengajaran, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004
Sulhan, Najib, Pembangunan karakter Pada Anak,Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif, Surabaya: Surabaya Intelektual Club, 2010
Suryabrata, Sumadi,  Psikologi Pendidikan, edisi 17 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010
Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan, Yogyakarta: Kota Kembang, 2008
Syaltut, Syekh Mahmud, Al Islam Aqidah Wa Syari’ah, terj. Fahrudin HS dan Nasharudin Thaha, Jakarta: Bumi Aksara, 1990
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992
Tim Penelitian program DPP Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, editor : Sembodo Ardi Widodo, Nasib Pendidikan Kaum Miskin,Yogyakarta: Zephyr Media, 2009



[1] Syekh Mahmud Syaltut, Al Islam Aqidah Wa Syari’ah, terj. Fahrudin HS dan Nasharudin Thaha, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. XIII
[2] Ibid, hlm. XIV, Lihat juga, Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI UMY, 2009), hlm. 10
[3] Yunahar Ilyas, Ibid
[4] Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1971), hlm. 110-112
[5] Ibid, hlm 113
[6] Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2008), hlm. 3, bandingkan dengan tulisan Zakiah Darajat, Membina...hlm. 113-114
[7] Busairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-amin Press, 1997), hlm. 120
[8] Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Bandung:Pt. Sygma Examedia Arkanleema, tth), hlm. 158
[9] Kisah diatas adalah berdasarkan pengalaman penulis ketika mengajar selama 5 tahun di SMP 1 Limbangan Kab. Kendal dari tahun 2005-2010
[10] Harian Umum Suara Merdeka, Senin, 25 April 2011
[11] Suara Pembaharuan, 12 Juni 2001 sebagaimana dikutip oleh Rama Furqona dalam, Hubungan Antara Kesadaran Beragama dan Kematangan Sosial dengan Agresivitas Remaja (santri) Pondok Pesantren Assalam Surakarta, (Jakarta: Puslitbang Agama dan Keagamaan, 2003), hlm. 64
[12] Lihat hasil penelitian Fuaduddin dkk. dalam Jurnal Edukasi, Mencetak Generasi Muslim Kaffah, Studi tentang Sistem Pendidikan, Paham dan Jaringan Keagamaan Pondok Pesantren Islam “Al Islam” Tenggulun Lamongan, (Jakarta: Puslitbang Agama dan Keagamaan, 2003), hlm. 43 
[13]Lihat http://www.scribd.com/doc/23715535/makalah-lingkungan-pendidikan, di download pada hari Kamis, 14 April 2011, Jam 10.11 WIB
[14] Munsoji, Faktor-Faktor Pendidikan Pada Pondok Pesantren Ihyaussunah Yogyakarta,(Yogyakarta: Skripsi Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 2001), hlm. 111
[15] Ahmad Rohani, Pengelolaan Pengajaran, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hlm. 19
[16] Tim Penelitian program DPP Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, editor : Sembodo Ardi Widodo, Nasib Pendidikan Kaum Miskin, (Yogyakarta: Zephyr Media, 2009), hlm. 85
[17] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Cet. Ke 12 (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), hlm. 28
[18] Lihat http://www.masbied.com/2010/06/03/fungsi-dan-jenis-lingkungan-pendidikan/  di download pada hari Kamis, 7 April 2011, Jam 13.57 WIB, Bandingkan dengan http://www.scribd.com, Ibid
[19] M. Ngalim Purwanto, Ibid.
[20] Bandingkan dengan pendapatnya Munsoji, Faktor-faktor...hlm. 111
[21] Jalaludin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. 14, lihat juga, Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), hlm. 32
[22] Lihat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bab I, Pasal 1, tentang ketentuan umum
[23]Lihat http://www.masbied.com...Bandingkan juga dengan http://www.scribd.com, Ibid
[24] Ahmad Rohani,Pengelolaan...Ibid hlm. 19
[25] Uraian lengkap peran masing-masing dan tanggung jawab lingkungan ini bisa di baca pada bukunya Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 62-93,  baca juga pada Bahari, Toleransi Beragama Mahasiswa, Studi Tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, Dan Lingkungan Pendidikan Terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama Pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri, (Jakarta: Balitbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2010), hlm. 45-50, lihat juga http://www.masbied.com..Ibid, lihat juga http://www.scribd.com, Ibid.
[26] Uraian lengkap tentang lingkungan pendidikan ini bisa dibaca pada makalah, Kasan As’ari dkk, Pendidikan Dalam Lingkungan Keluarga, (tt, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 2001), lihat juga Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan...Ibid. hlm 57-58
[27] Lihat http://www.scribd.com, Ibid, lihat juga http://www.masbied.com..Ibid
[28] Uraian lengkap tentang pendidikan ini bisa di baca pada, Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam, terj. Saefullah Kamalie dan Hery Noor Ali (Semarang: As Syifa,Cet. III, 1997), hlm 10-22, lihat juga Zakiah Darajat, Membina Nilai-nilai...hlm. 120
[29] Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul...hlm. 56-57.
[30] Bahari, Toleransi...hlm. 46, lihat juga Fuad Ihsan, Dasar-dasar....hlm. 58
[31] Kasan As’ari dkk. Pendidikan Dalam Lingkungan...hlm. 5
[32] Ahmad Rohani, pengelolaan...hlm. 19
[34] Bahari, Toleransi Beragama Mahasiswa,…hl. 47
[35] Najib Sulhan, Pembangunan karakter Pada Anak,Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif, (Surabaya: Surabaya Intelektual Club, 2010), hlm. 114
[36] Fuad Ihsan, Dasar-dasar ilmu….hlm. 83-84
[37] Ibid,
[38] http://www.masbied.com..Ibid, bandingkan dengan pendapatnya Bahari, Toleransi Beragama…hlm. 49,  Fuad Ihsan, Dasar-dasar…hlm. 101-102
[39] Fuad Ihsan, Ibid….hlm 86
[40] M. Ngalim Purwanto, Psikologi…hlm. 29-30
[41] Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai….hlm 92-93
[42] A. Warson Al Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Surabaya:Pustaka Progressif, cet. Ke-14, 1997), hlm. 953
[43] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah...hlm. 1
[44] Ibid
[45] Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, tth), hlm. 51
[46] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah...hlm. 6
[47] Mahmud Syaltut dalam bukunya sering menyandingkan antara aqidah dengan syari’ah tanpa menyebut Muamalah, akantetapi dalam pembahasanya juga membahas muamalah seperti, perkawinan, aturan pusaka, kedudukan wanita, poligami dll. Mahmud Syaltut, Aqidah...149-278
[48]Amin Rais, Tauhid Sosial : Formula Menggempur Kesenjangan,(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 36
[49] Nurcholish Madjid, Tasawuf dan Pesantren, dalam Dawam Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-5 1995), hlm. 97
[50] Syekh Mahmud Syaltut, Aqidah dan Syariah...hlm. 50
[51] Amin Rais, Tauhid Sosial..., hlm. 41
[52] Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah...hlm 51-52
[53] Muhaimin et. Al, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya mengefektifkan Pendidikan Islam di sekolah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 16
[54] Nativisme di pelopori oleh Schopenhauer, yaitu Paham yang berpendapat bahwa perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh bawaan sejak lahir. Empirisme dipelopori oleh John Locke, yaitu Paham yang berpendapat bahwa perkembangan itu semata-mata faktor lingkungan. Konvergensi dipelopori oleh W. Stern, yaitu Paham yang berpendapat bahwa perkembangan itu dipengaruhi faktor bawaan dan lingkungan. Lihat Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, edisi 17 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 177-181, lihat juga, M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan...hlm. 14-15
[55] Penulis setuju dengan pendapatnya Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil Islam..hlm. 10-22
[56] Muhaimin, Paradigma...hl 293-294
[57] Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai...hlm. 87
[58] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan....hlm. 29
[59] Sutrisno, Pendidikan Islam...hlm.3, Lihat juga Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam,(Jakarta: Logos, 1999), hlm. 138
[60] Lihat juga pendapatnya Zakiah Darajat, Membina Nilai-nilai...114-115

Tidak ada komentar: