LINGKUNGAN DALAM PENDIDIKAN AQIDAH
(Studi Analisis Lingkungan Pendidikan Aqidah Islamiyah di
Kalangan Pelajar SMP)
Oleh : Kasan As’ari
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Menurut
Mahmud Syaltut aqidah adalah salah satu bidang (kepercayaan) yang harus dimiliki
dulu oleh seorang muslim sebelum yang lain. Kepercayaan itu harus bulat dan
penuh, tidak bercampur dengan syak, ragu dan kesamaran. Untuk itu menurut
Syaltut akidah hendaknya menurut ketetapan dan keterangan-keterangan yang jelas
dan tegas dari ayat-ayat Al qur’an serta telah menjadi kesepakatan kaum
muslimin sejak penyiaran islam dimulai.[1]
Karenanya didalam struktur Islam, aqidah itu adalah dasar dan diatasnya
dibangun syari’at. Sebab itu tidak ada syari’at tanpa aqidah. Maka syari’at
tanpa akidah tak ubahnya bagai sebuah bangunan yang tergantung di awang-awang.
Bagunan yang kuat memerlukan pondasi yang kuat dan kokoh, kalau pondasinya
lemah, maka bangunan itu akan cepat roboh.[2]
Seseorang
yang berakidah dengan kuat laksana sebuah pohon yang tumbuh dengan subur,
akarnya terhujam kuat kedalam tanah, dahannya rindang, daunnya lebat dan
buahnya banyak. Begitu juga dengan seseorang yang berakidah dengan kuat dan
benar, maka akan menghasilkan akhlak yang mulia, muamalat yang baik dan ibadah
yang tertib.[3]
Begitu juga
dengan seorang pelajar yang memiliki aqidah yang benar dan kuat, maka akan
nampak akhlaknya yang mulia, ibadahnya yang tertib, prestasinya yang menonjol
dan ketaatannya kepada guru. Dia tidak mudah diombang-ambingkan oleh keadaan
sekitarnya, jiwanya tenang dan tidak terpengaruh dengan lingkungan yang
negatif.
Permasalahanya
adalah, tidak mudah menanamkan aqidah yang benar dan kuat pada pelajar yang
masih remaja, dikarenakan pada usia remaja (pra adolesen - adolesen)
seringkali seorang pelajar mengalami kegoncangan, hal ini sebagai akibat dari
pertumbuhan fisik yang cepat, sehingga menimbulkan ketidakserasian diri,
kekurangharmonisan gerak dan sifat keingintahuan yang besar, sehingga
kadang-kadang mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai agama
dan lingkungan dimana dia tinggal.[4]
Gambaran
remaja akan Tuhan dengan sifat-sifatNya juga merupakan bagian dari gambarannya
terhadap alam dan lingkungannya, serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat
remaja itu sendiri. Keyakinan beragama pada remaja merupakan interaksi dia dan
lingkungannya. Pada lingkungan yang penuh keindahan yang harmonis, tentram,
damai dan serasi, maka akan tumbuh kekaguman remaja tersebut akan sifat Tuhan
yang mencipta seluruh keindahan, keserasian dan ketentraman, sehingga kepercayaannya
akan Tuhan bertambah. Sebaliknya apabila remaja tersebut dihadapkan pada
lingkungan yang penuh dengan kekecewaan, kekacauan, ketidakadilan, penderitaan
dan kedzaliman, maka akan tumbuh sifat kecewa terhadap Tuhan, bahkan
kadang-kadang sampai mengingkari kekuasaan Tuhan.[5]
Pertentangan
antara nilai-nilai agama yang dia pelajari dengan realitas sosial yang ada,
terutama oleh lingkungan dia berada, orang tua, guru, mubaligh dan sebagainya,
menyebabkan dia gelisah dan bersifat tak acuh dengan agama. Agama seolah-olah
hanya dijadikan simbol, legitimasi kekuasan dan terpisah dengan moralitas.
Keadaan inilah menurut Fazlur Rahman sebagaimana dikutip oleh Sutrisno sebagai
kepribadian yang memiliki standar moral ganda, dimana satu sisi para remaja itu
menjalankan ritual keagamaan akan tetapi disisi lain kemasiatan juga dia
kerjakan.[6]
Disinilah
pentingnya peran lingkungan dalam menciptakan aqidah islamiyah yang kuat dan
benar. Lingkungan (milieu) baik fisik maupun non fisik sangat
mempengaruhi pribadi peserta didik. Menurut Az-Zarnuji, sebagaimana dikutif
oleh Busyairi Madjidi lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap peserta didik
adalah pergaulan, disamping faktor gen atau keturunan.[7]
Hal ini diperkuat dengan firman Allah dalam Qur’an Surat Al-A’raf ayat 58.
à$s#t7ø9$#ur Ü=Íh©Ü9$# ßlãøs ¼çmè?$t6tR ÈbøÎ*Î/ ¾ÏmÎn/u ( Ï%©!$#ur y]ç7yz w ßlãøs wÎ) #YÅ3tR 4 y7Ï9ºx2 ß$Îh|ÇçR ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbráä3ô±o ÇÎÑÈ
Artinya : “Dan tanah yang baik,
tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah, dan tanah yang
tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami
mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur” (Qs.
Al-A’raf : 58).[8]
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian diatas maka dapat ditarik rumusan masalah yang akan dijawab oleh tulisan
makalah ini, diantaranya yaitu :
-
Apa saja lingkungan pendidikan
aqidah islamiyah ?
-
Bagaimana Lingkungan yang baik
dalam pendidikan aqidah islamiyah ?
B.
PEMBAHASAN
1.
Realitas
Sosial
Sebagai
seorang pendidik saya sangat kaget, ketika mendapatkan salah satu siswa putra
sedang makan permen pada saat bulan ramadhan. Padahal siswa tersebut sudah
kelas 8 SMP, yang semestinya sudah mendapatkan materi tentang puasa wajib pada
waktu kelas 7. Tidak mau ambil resiko dengan ulah anak tersebut, saya langsung
mengajak anak tersebut ke ruang BK (Bimbingan dan Konseling). Singkat kata anak
tersebut bercerita, mengapa dia tidak berpuasa, dikarenakan dia tidak berani
bangun untuk sahur. Ternyata orang tua dari anak tersebut juga tidak berpuasa,
sehingga ketika dia mau berpuasa, maka dia nasibnya seperti anak ayam yang
ditinggal induknya.
Saya selalu
mengamati perilaku anak-anak ketika mau sholat dhuhur berjama’ah. Mereka tidak
segera bergegas mengambil air wudhu, walaupun adzan sudah berkumandang, berbeda
dengan jadwal pulang, apabila bel tanda pulang sudah dibunyikan, mereka selalu
bergegas dan keceriaan nampak diwajah mereka. Saya pikir, apakah sekolah memang
sudah menjadi penjara bagi mereka, sehingga ketika mereka harus pulang, maka
terpancar kegembiraan yang luar biasa, karena akan bebas dari penjara
intelktual. Akhirnya melalui pendekatan personal kepada anak-anak yang sering
telat sholat jama’ahnya saya mendapatkan informasi, bahwa yang membikin mereka
enggan lekas-lekas sholat berjama’ah dikarenakan bapak / ibu guru dan TU juga
banyak yang tidak sholat jama’ah, padahal mereka juga lebih wajib karena mereka
adalah orang dewasa.
Ketika saya
masuk kelas 7 dan saya tanyakan siapa yang tadi pagi sholat subuh, maka yang
mengacungkan tangan, tanda mereka telah sholat subuh hanya separo dari jumlah
siswa. Ini miris sekali, karena kebanyakan mereka yang perempuan telah haid dan
yang laki-laki sudah pernah mimpi basah. Saya cecar dengan pertanyaan, apakah
kalau tidak sholat orang tua kamu tidak menegur atau marah ?
Jawaban yang seakan menampar kumping ini adalah, bahwa orang tua mereka acuh
dengan ketertiban sholat mereka, karena orang tuanya juga tidak sholat.[9]
Indonesia
saat ini mengalami darurat pornografi, karena berdasarkan survey Yayasan Kita
dan buah Hati dihadapan komnas Perlindungan Anak, sejak tahun 2008-2010, 67
persen dari 2.818 anak SD pernah mengakses informasi pornografi. Untuk anak SMP
dan SMA tentu lebih banyak.[10]
Menurut harian Suara Pebaharuan, tahun 1999 sampai dengan 2001 terjadi 465
kasus tawuran pelajar di Jakarta, dan yang ditangkap 3.949 pelajar. Sementara
10.000 pelajar SMP dan SMA menjadi korban Narkoba di Jakarta.[11]
Kejadian-kejadian
yang dialami remaja diatas, sebenarnya adalah fenomena gunung es, artinya itu
hanya yang terekspose oleh media dan kenyataan dilapangan tentu lebih banyak
lagi. Apabila kita perhatikan, sumber dari segala sumber perilaku diatas adalah
kurangnya pengamalan aqidah dari sebagian besar remaja kita. Pendidikan aqidah
yang menjadi dasar dan ruh dari pendidikan agama islam kurang (kalau tidak bisa
dikatakan gagal) menyentuh kalbu, dan mengilhami serta dipraktekan dalam
kehidupan sehari-hari oleh para pelajar kita, padahal persolan aqidah adalah
yang utama dan sangat sentral dalam kehidupan di dunia dan akherat.[12]
2.
Landasan
Teoritik
a.
Pengertian
Lingkungan Pendidikan
Lingkungan secara umum diartikan sebagai kesatuan ruang dengan segala
benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk
hidupa lainnya. [13] Lingkungan juga diartikan sebagai segala sesuatu yang
ada disekitar suatu benda yang mempunyai pengaruh terhadap benda-benda itu.[14]Sehingga
lingkungan bisa diartikan juga sebagai segala sesuatu yang ada diluar individu,[15]baik
yang bersifat statis maupun bersifat dinamis.[16]
Menurut Sartain (seorang ahli psikologi
Amerika) yang dikutip oleh Ngalim Purwanto mendefinisikan lingkungan sebagai
segala sesuatu kondisi-kondisi dalam dunia ini yang didalamnya meliputi cara-cara
tertentu dan mempengaruhi tingkah laku kita, pertumbuhan dan perkembangan atau life
processes kita, kecuali gen-gen, bahkan gen-gen bisa juga dipandang sebagai
menyiapkan lingkungan (to Provide environment) bagi gen yang lain.[17]
Lingkungan
dapat dibedakan
menjadi
lingkungan alam hayati, lingkungan alam non hayati, lingkungan buatan dan lingkungan
sosial.[18] Sedangkan Sartain membagi lingkungan menjadi tiga, yaitu
1). Lingkungan alam/luar, 2). Lingkungan dalam, dan 3). Lingkungan
Sosial/Masyarakat.[19]
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan pada
dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1). Lingkungan fisik, 2).
Lingkungan nonfisik. Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang dapat dilihat
dan diraba secara langsung dengan panca indera, sedangkan lingkungan non fisik
adalah segala sesuatu yang memberi pengaruh terhadap lingkungan fisik, namun
tidak bisa dilihat dan diraba secara langsung dengan panca indera.[20]
Pendidikan adalah bimbingan secara
sadar dari pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju
terbentuknya manusia yang memiliki kepribadian yang ideal.[21] Sedangkan menurut UU N0. 20 Tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional, Pendidikan
didefinisikan sebagai usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara.[22]
Lingkungan pendidikan dapat diartikan
sebagai berbagai faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap praktek pendidikan[23] dan dapat difungsikan sebagai sumber belajar baik
langsung maupun tidak langsung.[24]
b.
Jenis-Jenis
Lingkungan Pendidikan
Mengacu
pada pengertian lingkungan pendidikan seperti tertulis diatas, maka lingkungan
pendidikan dapat dibedakan atau dikategorikan menjadi 3 macam lingkungan, yaitu (1) lingkungan pendidikan keluarga, (2) lingkungan pendidikan sekolah, (3) lingkungan pendidikan
masyarakat. Ketiga lingkungan tersebut biasa disebut tripusat pendidikan.[25]
1. Lingkungan Pendidikan Keluarga
Keluarga
merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama
dialamai oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati orang tua
bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar
tumbuh adn berkembang dengan baik. Pendidikan keluarga disebut pendidikan utama
karena di dalam lingkungan ini segenap potensi yang dimiliki manusia terbentuk
dan sebagian dikembangkan. Bahkan ada beberapa potensi yang telah berkembang
dalam pendidikan keluarga.[26]
Pendidikan
keluarga dapat dibedakan menjadi dua yakni :
a). Pendidikan prenatal (pendidikan sebelum lahir)
Merupakan
pendidikan yang berlangsung selama anak belum lahir atau masih dalam kandungan.
Pendidikan prenatal lebih banyak dipengaruhi kebudayaan lingkungan setempat. Dalam kehidupan yang lebih modern sekarang ini, terdapat
pula model pendidikan prenatal. Seperti mendengarkan lagu-lagu klasik, senandung ayat-ayat suci selama anak masih dalam kandungan, melakukan
pemerikasaan rutin ke dokter kandungan atau mengkonsumsi nutrisi yang baik bagi
si jabang bayi adalah contoh-contoh pendidikan prenatal dalam kehidupan modern.[27]
Bahkan didalam Islam pendidikan
prenatal dimulai jauh sebelum kelahiran, yaitu mulai dari pemilihan bibit
penyemaian (jodoh), cara melakukan penyemaian (bersetubuh), baru kemudian
melangkah ke tahap pendidikan dalam kandungan sampai dengan proses kelahiran.[28]
Secara
sederhana pendidikan prenatal dalam keluarga bertujuan untuk menjamin agar si
jabang bayi sehat selama dalam kandungan hingga nanti pada akhirnya dapat terlahir
dengan proses yang lancar dan selamat.
b) Pendidikan postnatal (pendidikan
setelah lahir)
Merupakan
pendidikan manusia dalam lingkungan keluarga di mulai dari manusia lahir hingga
akhir hayatnya. Segala macam ilmu kehidupan yang diperoleh dari keluarga
merupakan hasil dari proses pendidikan keluarga postnatal. Dari manusia lahir
sudah diajari dengan aqidah
islamiyah, yakni dengan diperdengarkan kalimat tauhid berupa adzan di telinga
kanan dan iqomah di telinga kiri sang bayi, harapannya adalah agar si jabang
bayi nantinya didalam mengarungi kehidupan senantiasa mengutamakan aqidah
islamiyah.[29]
Pendidikan nilai-nilai agama sebagian besar dimulai dari
keluarga,[30]
sekolah sifatnya hanya melanjutkan apa yang sudah didapatkan dalam keluarga.
Perbedaan yang sangat menonojol antara pendidikan di lingkungan keluarga dengan
di lingkungan sekolah adalah pada tugas dan tanggung jawab. Pada lingkungan
keluarga orang tua melakukan tugas pendidikan adalah kodrati dari Tuhan,
sedangkan guru pada lingkungan sekolah adalah tugas profesi yang dibebankan
pemerintah. Pendidikan dalam keluarga lebih ditekankan pada pemelihara dan
penanaman nilai-nilai etika, agama, norma dll, sedangkan pendidikan sekolah
hanya melanjutkan dan mengembangkan intelektualitas, ketrampilan yang
berhubungan dengan kebutuhan anak untuk hidup ditengah masyarakat.[31]
Lingkungan
pendidikan keluarga secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
1). Lingkungan fisik dan 2). Lingkungan nonfisik. Yang termasuk lingkungan
fisik yaitu; rumah, orang tua, saudara dan perabot-prabot rumah yang berupa
fisik, seperti (motor, TV, Komputer dll.). sedangkan yang termasuk lingkungan
nonfisik adalah pola interaksi antar anggota keluarga, antara orang tua dengan
anak, dengan saudara yang masih keluarga besar. Pola interaksi ini sangat besar
pengaruhnya terhadap pembentukan kebiasaan, kepribadian, sikap dan nilai anak,[32]bahkan
terhadap agama sang anak. Sebagaimana sabda nabi SAW :
مامن مولودالا يولد على الفطرة , فأبواه
يهودانه اوينصرانه اويمجسانه (رواه
البخارى)
Artinya : “Tidak
dilahirkan seorang anak kecuali dalam dalam
keadaan fitrah, Orang tuanya yang menjadikan dia yahudi atau nasrani atau majusi”. (HR. Bukhori)
2. Lingkungan Pendidikan
Sekolah
Di antara tiga pusat
pendidikan, sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk
melaksanakan pendidikan. Karena kemajuan zaman, keluarga tidak
mungkin lagi memenuhi seluruh kebutuhan dan aspirasi generasi muda terhadap
iptek. Semakin maju suatu masyarakat semakin penting peranan sekolah dalam
mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses pembangunan masyarakat
itu.[33]
Peranan sekolah sebagai
institusi adalah sebagai lembaga pendidikan yang mengembangkan potensi manusiawi
yang dimiliki anak-anak agar mampu menjalankan tugas-tugas kehidupan sebagai
manusia, baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat.[34]
Iklim sekolah
yang positif merupakan suatu kondisi, dimana keadaan sekolah dan lingkungannya
dalam keadaan aman, damai, menyenangkan untuk belajar mengajar.[35]
Lingkungan yang seperti itu mampu mengembangkan seluruh potensi pendidikan
sekolah sehingga bermutu tinggi.
Pembinaan yang dipikul
oleh lingkungan sekolah meliputi :
a.
Meneruskan dan mengembangkan
pendidikan yang telah diletakan oleh orang tua di rumah atau lingkungan sosial.
b.
Mengarahkan dan meluruskan dasar-dasar
pendidikan yang mungkin salah pada awalnya.
c.
Meletakan dasar-dasar ilmiah dan
ketrampilan untuk dikembangkan selanjutnya.
d.
Mempersiapkan anak didik dengan
pengetahuan dasar untuk menghadapi lingkungan sosialnya. Agar dapat
bersosialisasi dengan baik.[36]
Lingkungan pendidikan di
sekolah juga bisa dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu : 1). Lingkungan fisik,
meliputi : Gedung sekolah, Perpustakaan, buku-buku, tempat ibadah, guru, murid,
karyawan dll. 2). Lingkungan non fisik, meliputi : model pembelajaran, strategi
pengajaran, pola hubungan murid dengan guru, hubungan sekolah dengan masyarakat
sekitar dll.
3. Lingkungan Pendidikan Masyarakat
Lingkungan masyarakat
adalah sekumpulan manusia yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan dan saling
berinteraksi sesamanya untuk mencapai tujuan.[37]
Kaitan antara lingkungan masyarakat dan pendidikan dapat ditinjau dari tiga
segi yaitu:
1.
Masyarakat sebagai penyelenggara
pendidikan, baik dilembagakan maupun yang tidak dilembagakan.
2.
Lembaga-lembaga kemasyarakatan
dan/atau kelompok sosial di masyarakat, baik langsung maupun tidak
langsung, ikut mempunyai peranan dan fungsi edukatif.
3.
Dalam masyarakat tersedia berbagai
sumber belajar, baik yang dirancang maupun yang dimanfaatkan.[38]
Secara struktural
fungsional masyarakat ikut mempengaruhi terbentuknya sikap sosial anggotanya,
yaitu melalui berbagai pengalaman yang berulang kali. Pendidik dalam masyarakat
adalah orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap proses pendewasaan para
anggotanya. Biasanya secara fungsional peran ini diambil alih oleh para
pemimpin masyarakat (lurah, RT, RW, Ulama dll).[39]
Menurut Ngalim Purwanto,
sifat dan watak kita adalah hasil interaksi antara pembawaan (heredity)
dengan lingkungan kita, karena itu tiap-tiap orang adalah unik. Setiap
individu senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dalam
artian mengubah diri sesuai dengan lingkungannya atau mengubah lingkungannya
sesuai dengan keinginannya.[40]
Didalam agama islam ada
kewajiban untuk berperan dalam pendidikan dilingkungan masyarakat, sesuai
dengan sabda Nabi SAW yang artinya:
من رأى منكم منكرا فليغيربيده,فإن لم يستطع فبللسانه,وإن لم يستطع فبلقلبه,وذاللك
اضعف الايمان (رواه المسلم)
Artinya : “Barangsiapa melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu,
jika tidak mampu maka dengan lisanmu, jika tidak mampu maka dengan hatimu, dan
ini adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Menurut Zakiah Daradjat
persoalan yang sering muncul pada diri remaja adalah dengan lingkungannya.
Remaja sejak usia 7 tahun sampai dengan 16 tahun cenderung membuat kelompok atau gang. Mereka
pada saat itu mengalami goncangan karena pada saat itu tidak mendapat kedudukan
dan penghargaan dari masyarakat. Si remaja sedang berjuang untuk menemukan
jatidiri dan penghargaan orang dewasa. Kalau tanggapan dari orang-orang dewasa
tidak memuaskan, maka mereka akan
mencari pelarian dengan teman pergaulan yang sama-sama mengalami kegoncangan.
Akibatnya mereka mudah mengidentifikasi diri dan menentang terhadap guru, orang
tua dan masyarakat. Jadi faktor yang sangat dominan mempengaruhi sikap dan
kepribadian remaja adalah teman pergaulan.[41]
Lingkungan
Pendidikan masyarakat ini juga bisa dibedakan menjadi lingkungan yang bersifat
fisik dan non fisik. Yang bersifat fisik diantaranya adalah anggota masyarakat,
tempat ibadah, tata tertib yang ada dimasyarakat dll, sedangkan yang bersifat
non fisik yaitu berupa pola hubungan anggota masyarakat dan pola hubungan
antara anggota masyarakat dengan masyarakat lain.
c.
Pendidikan
Aqidah Islamiyah
Secara etimologi aqidah berasal dari kata aqoda-ya’qidu-aqdan-aqidatan
yang berarti simpulan ikatan, perjanjian dan kokoh.[42]sehingga
aqidah itu bisa diartikan sebagai keyakinan yang tersimpul didalam hati,
bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.[43]
Secara
terminologi aqidah menurut Hasan al Bana yang dikutip oleh Yunahar Ilyas adalah
beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan
ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan
keragu-raguan.[44] Secara
teknis aqidah diartikan juga dengan iman, kepercayaan dan keyakinan. Jadi yang
dinamakan aqidah islam itu adalah kepercayaan dan kayakinan atas dasar atau
menurut ajaran islam.[45]
Berdasarkan
uraian diatas, maka pendidikan aqidah islamiyah bisa didefinisikan sebagai bimbingan
secara sadar dari pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik
menuju terbentuknya manusia agar memiliki keyakinan yang benar dan kuat didalam
hati dan diwujudkan dalam sikap, kepribadian dan amal perbuatan yang shaleh
sesuai dengan ajaran islam.
Pembahasan
dalam pendidikan aqidah bisa mengikuti sistematika rukun iman, yaitu dimulai
dari iman kepada Allah sampai dengan Iman kepada Qodho dan Qodar.[46]Sedangkan
Mahmud Syaltut lebih cenderung dengan sebutan Aqidah, Syariah dan Muamalah.[47]
Hal yang
paling membedakan antara aqidah islamiyah dengan aqidah agama lain, menurut
Amin Rais adalah Tauhid yang masih murni dan belum diselewengkan.[48]Tauhid
disini tidak cukup hanya dengan mengatakan atau meyakini bahwa Allah
satu-satunya Tuhan yang mencipta alam semesta (Rububiyah), akan tetapi
lebih dari itu, harus pula meyakini bahwa Allah satu-satunya Tuhan yang patut
disembah.[49]
Para sarjana
muslim dan ulama islam telah menamakan taklif yang berhubungan dengan ilmu
dengan sebutan aqidah, sedangkan taklif yang berhubungan dengan amal perbuatan
dengan sebutan syari’ah atau cabang.[50]keyakinan
itu harus diterjemahkan kedalam perbuatan amal saleh dan membudaya sehingga
amal seseorang itu membuktikan keyakinan didalam hatinya.[51]
Syarat agar keyakinan itu menghujam kedalam hati, yaitu apabila 1). Tiruan dan
anggapan tersebut telah berulang sedemikian rupa, sesuai dengan hukum: sesuatu
yang diulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang diulang-ulang akan
menjadi adat. Adat yang diulang-ulang akan menjadi sifat. Kumpulan sifat-sifat
adalah kepribadian. 2). Dalam dalil yang dikemukakan itu sedemikian tepat dan
benarnya serta cukup banyak, sehingga tidak ada jalan lagi untuk membantahnya.[52]
3.
Analisis
Walaupun setiap anak itu
dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu memiliki potensi atau daya untuk mengenal
Allah (Iman kepada Allah)[53],
namun dalam melaksanakan pendidikan aqidah kita harus meninggalkan faham nativisme
dan beralih kepada faham empirisme dan konvergensi.[54]
Aqidah yang kuat tertancap
dilubuk hati yang dalam, tidak datang dengan serta merta, butuh usaha sadar
yang tekun dan butuh waktu yang lama, mulai dari proses pencarian jodoh,
perkawinan, senggama, kelahiran dan proses pendidikan setelah kelahiran harus
dilakukan dengan sadar dan sungguh-sungguh dengan didukung oleh berbagai
faktor, diantaranya adalah lingkungan yang agamis.[55]Lingkungan
yang religius dapat menciptakan pribadi-pribadi yang religius, yang taat akan
ajaran agama, menghayati dan meyakini apa yang dilakukan bukan hanya sekedar
dogma yang kosong tanpa makna.[56]
Seandainya lingkungan itu tidak
berpengaruh kepada perkembangan dan kepribadian manusia, tentu nabi SAW tidak
akan mensabdakan dua hadits diatas. Sebagai manusia yang maksum Nabi SAW tahu,
bahwa umatnya diakhir zaman akan berhadapan dengan keadaan atau lingkungan yang
sangat berat, sehingga semua umat islam berkewajiban untuk mendidik, baik
dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal ini juga tercermin pada
perilaku nabi SAW ketika membangun Islam,
pada awalnya adalah membangun aqidah umat yang kuat. Karena dari aqidah
yang kuat akan lahir genarasi muslim yang tangguh, yang bisa membesarkan islam
dalam setiap gerak langkahnya.
Pada hadits yang pertama, “Tidaklah
dilahirkan seorang anak kecuali dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya yang
menjadikan dia Yahudi atau Nasrani atau Majusi” lebih bersifat konvergensi.
Artinya setiap anak memang membawa bakat atau potensi keimanan akan tetapi pada
perjalanan waktu, Lingkungan keluargalah yang sangat berpengaruh dalam
penanaman keimanan dan nilai-nilai agama, kemudian dilanjutkan kepada
lingkungan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Zakiah Daradjat, bahwa
penanaman nilai-nilai agama hendaknya dimulai dari keluarga, setiap tindak
tanduk dan perbuatan anggota keluarga harus dijiwai dengan nilai agama, maka
dengan sendirinya agama akan menjadi kebiasaan dan kepribadian dari sang anak,
hal ini dilakukan terutama pada masa-masa belajar pasif.[57]Lingkungan
keluarga yang mendukung penanaman aqidah adalah lingkungan yang islami, aman,
tentram, damai dan penuh kasih sayang antar anggota keluarga. Karena pada tahap
pra adolesen – adolesen pengetahuan anak akan Tuhan dan segala sifat-sifatnya
masih bersifat konkrit (nyata) dalam kehidupan sehari-hari.
Pada hadits yang kedua “Barangsiapa
melihat kemungkaran...”lebih bersifat empirisme. Artinya setiap pribadi
muslim memiliki tanggung jawab mendidik dengan cara berperan serta menciptakan
lingkungan yang agamis, damai, tenang dan tentram menurut kadar kemampuan
masing-masing. Penciptaan lingkungan yang agamis dan mampu menumbuhkembangkan
aqidah islamiyah tidak bisa dibebankan hanya kepada sekelompok manusia saja,
akantetapi semua anggota masyarakat harus terlibat, terutama pengawasan kepada remaja
yang sudah memiliki kecenderungan membuat kelompok/gang. Jika anggota
kelompok/gang itu tidak diarahkan dalam suasana yang agamis, maka akan muncul
perilaku-perilaku menyimpang. Sebagaimana pendapat Ngalim Purwanto, bahwa sifat
dan watak kita adalah hasil interaksi antara pembawaan dengan lingkungan sosial
kita.[58]
Semakin banyak berinteraksi maka potensi untuk terpengaruh semakin besar,
karenanya pada usia remaja teman pergaulan sangat mempengaruhi, sikap dan watak
kepribadian remaja tersebut.
Sebagai orang dewasa memiliki
kewajiban mendidik masyarakat, khususnya kaum remaja, yaitu dengan menjadi
tauladan yang baik pada pengamalan aqidah islamiyah. Hal ini dilakukan agar
para remaja terhindar dari konflik nilai. Apa yang diajarkan di sekolah sesuai
dengan yang dipraktekan anggota keluarga dan masyarakat. Hal ini juga untuk
menghindari kepribadian moral ganda pada
diri remaja.[59]Kemudian
kita juga wajib membantu para remaja menemukan jatidiri dan keluar dari
kegoncangan dengan cara menciptakan lingkungan yang harmonis, damai, saling
pengertian, penuh kasih sayang dan saling menghargai dengan dilandasi aqidah
islamiyah dan amal yang shaleh. Dengan penciptaan lingkungan yang mendukung,
maka cita-cita Izzul Islam wal muslimin akan mudah dicapai.[60]
Lingkungan yang paling
berpengaruh terhadap pembentukan aqidah islam adalah yang bersifat non fisik,
walaupun lingkungan yang bersifat fisik juga berpengaruh. Karena aqidah itu
ditanamkan didalam hati, maka pendekatan yang kita gunakan adalah pendekatan
psikologis dengan lebih menekankan pada ranah afektif. Setelah aqidah diyakini
dan terhujam dihati maka dilanjutkan dengan ranah psikomotorik dan kognitif.
C.
PENUTUP /
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas ada beberapa temuan dan
kesimpulan yang bisa diambil, diantaranya : Lingkungan Pendidikan dalan aqidah
islamiyah adalah Lingkungan pendidikan keluarga, lingkungan pendidikan sekolah
dan lingkungan pendidikan masyarakat. Lingkungan ini ada yang bersifat fisik
dan ada yang bersifat non fisik.
Dari lingkungan itu yang paling dominan mempengaruhi
aqidah seorang remaja adalah lingkungan non fisik karena aqidah itu pada
mulanya adalah persoalan keyakinan yang tertanam didalam hati sehingga lebih
dominan pada ranah afektif dan tercermin dalam kepribadian dan perilaku
sehari-hari yang dominan pada ranah psikomotorik. Untuk itu pendidikan aqidah
islamiyah harus lebih menonjol pada kedua ranah tersebut.
Pendidikan aqidah yang baik dimulai dari lingkungan
keluarga. lingkungan keluarga yang islami, aman, tentram, damai dan penuh kasih
sayang antar anggota keluarga akan
menumbuhkan aqidah islamiyah yang benar dan kuat pada pribadi remaja.
Sebaliknya lingkungan keluarga yang carut marut, penuh dengan permusuhan,
dusta, iri, dengki dan berbagai kemaksiatan akan menimbulkan pendidikan aqidah
pada remaja tidak baik.
Begitu juga dengan lingkungan pendidikan sekolah dan
masyarakat yang baik, agamis, harmonis, penuh pengertian, tanggung jawab, penuh
kasih sayang, saling menasehati dalam setiap kebaikan dan menegur dalam
keburukan akan menumbuhkan aqidah islamiyah yang baik. Sebaliknya apabila
disekolah dan masyarakat tidak ada sikap saling menghormati, kasih sayang dan
menjauhi kemaksiatan maka tidak akan tercapai tujuan pendidikan aqidah
islamiyah yang baik.
Daftar Pustaka
Al Munawir, A. Warson, Kamus Bahasa Arab-Indonesia,
cet. Ke-14, Surabaya:Pustaka Progressif, 1997
Al-Qur’an dan Terjemahnya,Bandung: Pt. Sygma
Examedia Arkanleema, tth
As’ari, Kasan dkk, makalah Pendidikan Dalam Lingkungan
Keluarga, , tt, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 2001
Bahari, Toleransi Beragama Mahasiswa, Studi Tentang
Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama,
Dan Lingkungan Pendidikan Terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama Pada 7
Perguruan Tinggi Umum Negeri, Jakarta: Balitbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2010
Daradjat, Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di
Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1971
Fuaduddin dkk. dalam Jurnal Edukasi, Mencetak Generasi
Muslim Kaffah, Studi tentang Sistem Pendidikan, Paham dan Jaringan Keagamaan
Pondok Pesantren Islam “Al Islam” Tenggulun Lamongan, Jakarta: Puslitbang
Agama dan Keagamaan, 2003
Furqona, Rama, Hubungan Antara Kesadaran Beragama dan
Kematangan Sosial dengan Agresivitas Remaja (santri) Pondok Pesantren Assalam Surakarta,
Jakarta: Puslitbang Agama dan Keagamaan, 2003
Harian Umum Suara Merdeka, edisi Senin, 25 April 2011
Ihsan, Fuad, Dasar-dasar
Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005
Ilyas, Yunahar, Kuliah
Aqidah Islam, Yogyakarta: LPPI UMY, 2009
Jalaludin
dan Abdullah, Filsafat Pendidikan, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1997
Madjid, Nurcholish, Tasawuf dan Pesantren, dalam
Dawam Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan, Cet. Ke-5, Jakarta:
LP3ES, 1995
Madjidi, Busairi, Konsep
Pendidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: Al-amin Press, 1997
Muhaimin et. Al, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya
mengefektifkan Pendidikan Islam di sekolah, Bandung: Remaja Rosda Karya,
2002
Munsoji, Faktor-Faktor Pendidikan Pada Pondok Pesantren
Ihyaussunah Yogyakarta,Yogyakarta: Skripsi Fak. Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga, 2001
Nasih Ulwan, Abdullah,
Tarbiyatul Aulad Fil Islam, Cet. III, terj. Saefullah
Kamalie dan Hery Noor Ali Semarang: As Syifa, , 1997
Purwanto, M. Ngalim, Psikologi Pendidikan, Cet. Ke
12 Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999
Rais, Amin, Tauhid Sosial : Formula Menggempur
Kesenjangan,Bandung: Mizan, 1998
Rohani, Ahmad, Pengelolaan Pengajaran, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2004
Sulhan, Najib, Pembangunan karakter Pada Anak,Manajemen
Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif, Surabaya: Surabaya Intelektual
Club, 2010
Suryabrata, Sumadi,
Psikologi Pendidikan, edisi 17 Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010
Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan,
Yogyakarta: Kota Kembang, 2008
Syaltut, Syekh Mahmud, Al Islam Aqidah Wa Syari’ah, terj.
Fahrudin HS dan Nasharudin Thaha, Jakarta: Bumi Aksara, 1990
Tafsir,
Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992
Tim Penelitian program DPP Fak. Tarbiyah UIN Sunan
Kalijaga, editor : Sembodo Ardi Widodo, Nasib Pendidikan Kaum Miskin,Yogyakarta:
Zephyr Media, 2009
[1] Syekh Mahmud
Syaltut, Al Islam Aqidah Wa Syari’ah, terj. Fahrudin HS dan Nasharudin
Thaha, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. XIII
[2] Ibid, hlm. XIV,
Lihat juga, Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI UMY,
2009), hlm. 10
[4] Zakiah
Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1971), hlm. 110-112
[6] Sutrisno, Pendidikan
Islam yang Menghidupkan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2008), hlm. 3, bandingkan
dengan tulisan Zakiah Darajat, Membina...hlm. 113-114
[7] Busairi
Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-amin
Press, 1997), hlm. 120
[9] Kisah diatas
adalah berdasarkan pengalaman penulis ketika mengajar selama 5 tahun di SMP 1
Limbangan Kab. Kendal dari tahun 2005-2010
[11] Suara Pembaharuan,
12 Juni 2001 sebagaimana dikutip oleh Rama Furqona dalam, Hubungan Antara
Kesadaran Beragama dan Kematangan Sosial dengan Agresivitas Remaja (santri)
Pondok Pesantren Assalam Surakarta, (Jakarta: Puslitbang Agama dan
Keagamaan, 2003), hlm. 64
[12] Lihat hasil
penelitian Fuaduddin dkk. dalam Jurnal Edukasi, Mencetak Generasi Muslim
Kaffah, Studi tentang Sistem Pendidikan, Paham dan Jaringan Keagamaan Pondok
Pesantren Islam “Al Islam” Tenggulun Lamongan, (Jakarta: Puslitbang Agama
dan Keagamaan, 2003), hlm. 43
[13]Lihat http://www.scribd.com/doc/23715535/makalah-lingkungan-pendidikan, di download pada hari Kamis, 14 April 2011, Jam 10.11
WIB
[14] Munsoji, Faktor-Faktor
Pendidikan Pada Pondok Pesantren Ihyaussunah Yogyakarta,(Yogyakarta:
Skripsi Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 2001), hlm. 111
[16] Tim
Penelitian program DPP Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, editor : Sembodo Ardi
Widodo, Nasib Pendidikan Kaum Miskin, (Yogyakarta: Zephyr Media, 2009),
hlm. 85
[17] M. Ngalim
Purwanto, Psikologi Pendidikan, Cet. Ke 12 (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1999), hlm. 28
[18] Lihat http://www.masbied.com/2010/06/03/fungsi-dan-jenis-lingkungan-pendidikan/
di download pada hari Kamis, 7 April 2011, Jam 13.57 WIB, Bandingkan
dengan http://www.scribd.com, Ibid
[21] Jalaludin dan
Abdullah, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. 14, lihat juga,
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1992),
hlm. 32
[25] Uraian
lengkap peran masing-masing dan tanggung jawab lingkungan ini bisa di baca pada
bukunya Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,
2005), hlm. 62-93, baca juga pada Bahari,
Toleransi Beragama Mahasiswa, Studi Tentang Pengaruh Kepribadian,
Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, Dan Lingkungan
Pendidikan Terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama Pada 7 Perguruan Tinggi
Umum Negeri, (Jakarta: Balitbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
2010), hlm. 45-50, lihat juga http://www.masbied.com..Ibid, lihat juga http://www.scribd.com, Ibid.
[26] Uraian
lengkap tentang lingkungan pendidikan ini bisa dibaca pada makalah, Kasan
As’ari dkk, Pendidikan Dalam Lingkungan Keluarga, (tt, Fak. Tarbiyah
IAIN Sunan Kalijaga, 2001), lihat juga Fuad Ihsan, Dasar-dasar
Kependidikan...Ibid. hlm 57-58
[28] Uraian
lengkap tentang pendidikan ini bisa di baca pada, Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul
Aulad Fil Islam, terj. Saefullah Kamalie dan Hery Noor Ali (Semarang: As
Syifa,Cet. III, 1997), hlm 10-22, lihat juga Zakiah Darajat, Membina
Nilai-nilai...hlm. 120
[34] Bahari, Toleransi
Beragama Mahasiswa,…hl. 47
[35] Najib
Sulhan, Pembangunan karakter Pada Anak,Manajemen Pembelajaran Guru Menuju
Sekolah Efektif, (Surabaya: Surabaya Intelektual Club, 2010), hlm. 114
[36] Fuad Ihsan, Dasar-dasar
ilmu….hlm. 83-84
[37] Ibid,
[38] http://www.masbied.com..Ibid, bandingkan dengan pendapatnya Bahari, Toleransi
Beragama…hlm. 49, Fuad Ihsan, Dasar-dasar…hlm.
101-102
[39] Fuad Ihsan, Ibid….hlm
86
[40] M. Ngalim Purwanto, Psikologi…hlm.
29-30
[41] Zakiah Daradjat, Membina
Nilai-Nilai….hlm 92-93
[42] A. Warson Al
Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Surabaya:Pustaka Progressif, cet.
Ke-14, 1997), hlm. 953
[47] Mahmud
Syaltut dalam bukunya sering menyandingkan antara aqidah dengan syari’ah tanpa
menyebut Muamalah, akantetapi dalam pembahasanya juga membahas muamalah
seperti, perkawinan, aturan pusaka, kedudukan wanita, poligami dll. Mahmud
Syaltut, Aqidah...149-278
[48]Amin Rais, Tauhid
Sosial : Formula Menggempur Kesenjangan,(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 36
[49] Nurcholish
Madjid, Tasawuf dan Pesantren, dalam Dawam Rahardjo (ed), Pesantren
dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-5 1995), hlm. 97
[53] Muhaimin et.
Al, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya mengefektifkan Pendidikan Islam di
sekolah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 16
[54] Nativisme di
pelopori oleh Schopenhauer, yaitu Paham yang berpendapat bahwa perkembangan
individu semata-mata ditentukan oleh bawaan sejak lahir. Empirisme dipelopori
oleh John Locke, yaitu Paham yang berpendapat bahwa perkembangan itu
semata-mata faktor lingkungan. Konvergensi dipelopori oleh W. Stern, yaitu
Paham yang berpendapat bahwa perkembangan itu dipengaruhi faktor bawaan dan
lingkungan. Lihat Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, edisi 17
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 177-181, lihat juga, M. Ngalim
Purwanto, Psikologi Pendidikan...hlm. 14-15
[59] Sutrisno, Pendidikan
Islam...hlm.3, Lihat juga Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan
Islam,(Jakarta: Logos, 1999), hlm. 138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar