Rabu, 09 Oktober 2013

Konflik dalam Yurisprudensi Islam (Telaah Pemikiran Noel James Coulson)

A. Latar belakang Masalah
Konflik secara etimologis adalah pertentangan faham, pertikaian, persengketaan, perselisihan. Sedangkan Konflik menurut kamus wikepedia merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Konflik berasal dari kontroversi pertanyaan mendasar mengenai hakikat hukum. Konflik pada dasarnya merupakan produk dari keragaman filsafat hidup dan ideologi politik di dalam peradaban Barat dan juga keragaman pandangan tentang nilai-nilai akhir dan tujuan hidup manusia. Bagi yang ingin mengantisipasi atau mungkin ingin memahami diskusi tentang konflik di dalam yurisprudensi Islam berdasarkan pemahaman konflik di atas maka sangat mungkin akan merasa kecewa, tetapi mungkin pula merasa lega. Karena yurisprudensi Islam secara prinsip tidak mengenal konflik dasar ideologi semacam itu. Islam berarti penyerahan mutlak kepada Tuhan, dan kehendak itu sendiri yang menentukan nilai akhir dan tujuan hidup manusia. Persoalan mendasar menyangkut hakekat hukum Islam telah selesai dalam arti, pengakuan tidak adanya kompromi bahwa hukum itu didasarkan pada keyakinan keagamaan itu sendiri. Hukum adalah sistem perintah yang diwahyukan Tuhan. Mengingkari prinsip ini berarti menolak keyakinan agama. Walaupun hukum di dalam Islam merupakan pemberian Tuhan, tetapi manusia yang harus merumuskan dan mempergunakannya. Tuhan yang merencanakan, manusia yang memformulasikan. Antara rencana Tuhan semula dan disposisi manusia pada akhirnya terdapat bidang aktivitas intelektual dan keputusan yang amat luas. Secara singkat yurisprudensi dalam Islam merupakan proses aktifitas intelektual menyeluruh yang memastikan dan mengungkapkan batasan-batasan kehendak Tuhan dan mentransformasikannya ke dalam sistem hak-hak dan kewajiban yang dapat diselenggarakan menurut hukum.
Dalam istilah-istilah dan batasan-batasan seperti itulah konflik-konflik yang muncul dalam pemikiran hukum Islam harus dipahami. Coulson melukiskan hukum Islam sebagai hukum Tuhan sekaligus hukum yang dilahirkan oleh para fuqaha. Adanya kebebasan pemikiran hukum dalam upaya memecahkan berbagai masalah yang secara khusus tidak diatur oleh wahyu Tuhan. Norma hukum semacam ini seperti yang ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah pada dasarnya dipandang tidak lebih sebagai modifikasi ad hoc dari adat yang ada. Hukum adat yang berlaku masih merupakan norma tingkah laku yang diterima kecuali kalau digantikan secara khusus oleh ketentuan-ketentuan wahyu Tuhan. Dan kalau keadaan baru menimbulkan problem baru, hal ini diserahkan kepada ahli hukum (faqih) berdasarkan pertimbangan yang dipandang sesuai. Dalam proses mengungkapkan pendapatnya yang dikenal dengan ra’yu, setiap orang bebas memperhitungkan faktor-faktor yang ia anggap relevan. Tetapi sikap pragmatis ini segera menjadi persoalan setelah munculnya upaya sistematisasi pemikiran teologi dan filsafat. Menurut Coulson problema yang mendasar saat ini ialah adanya pertentangan antara ketentuan-ketentuan hukum tradisional yang dinyatakan secara kaku disatu pihak, dan tuntutan-tuntutan masyarakat modern dilain pihak. Untuk itu reformasi yurisprudensi islam harus mencari dasar hukum dalam prinsip-prinsip islam sebagai penompang. Artinya, harus ada legitimasi (pengesahan) baik secara implisit maupun secara eksplisit dari kemauan Tuhan. Enam prinsip konflik yang ditawarkan Noel James Coulson untuk diuji yaitu : Wahyu dan akal, Kesatuan dan keragaman, Otoritas dan kebebasan, Idealisme dan realism, Hukum dan moralitas serta Stabilitas dan perubahan. Noel James Coulson menggambarkan, bahwa yang menjadi dasar konflik dari ke-enam topik tersebut adalah antara wahyu Tuhan dan pemikiran manusia (fuqaha). Bila dicermati ke enam topik yang menjadi konflik tersebut sebenarnya adalah, adanya kesenjangan antara wilayah Tuhan dan wilayah manusia, apa yang ada dilangit dengan yang membumi, antara yang tekstual dengan yang kontekstual dan apa yang tertulis pada wahyu Tuhan dengan realitas sosial yang dihadapi manusia. Hubungan masing-masing dari enam prinsip konflik tersebut kelihatan berbeda bahkan bertentangan namun jika dicermati akan dapat dipahami bahwa keduanya secara simbiosis saling berhubungan serta bersifat komplementer dan bukan saling bertentangan. Disinilah letak persamaan pemikiran Coulson dengan umat islam pada umumnya dan sekaligus berbeda dengan sejumlah orientalis yang cenderung menggunakan pendekatan dan teori konflik dalam melihat realitas umat islam, seperti Snouk Hurgronje dan Michael Cook.
B. Permasalahan
Dari uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut : a. Mengapa konflik terjadi dalam yurisprudensi Islam ? b. Apa saja yang menjadi konflik dalam Yurisprudensi Islam ?
 C. Pentingnya Topik Penelitian Mengingat syari’ah dan fiqh Islam merupakan pondasi dasar dari Islam maka penting sekali dilakukan pengkajian dari hasil penelitian yg dilakukan oleh peneliti yang berasal dari non muslim seperti Noel James Coulson ini agar diketahui apakah uraian/pembahasan hasil penelitiannya bersifat menyesatkan atau bersifat obyektik dengan segala keterbatasan pemahaman peneliti sehingga hasil penelitiannya bisa dipastikan bahwa masih dalam toleransi yang dibenarkan menurut syara’. Topik-topik yang ditawarkan Coulson adalah topik yang saling berhubungan dalam pemikiran hukum islam dan telah muncul sejak tiga belas abad yang lalu, sehingga pemahaman yang komprehensif tentang topik ini akan memberikan landasan yang kokoh dan logis dalam menghadapi problem besar hukum kontemporer dan yurisprudensi dalam islam.
D. Tela’ah Pustaka Ditemukan beberapa peneliti lain yang menyikapi hasil penelitian dari Noel J. Cooulson tentang konflik yurisprudensi Islam, diantaranya adalah : 1. Muhammad Abd. Rauf, “Outsider’s Interpretation of Islam: A Muslim Point of View,” dalam Appproaches to Islam in Religius studies, ed. Richard C. Martin (Tucson: Universiity of Arizona, 1985). Menurut Muhammad Abd. Rauf, menegaskan bahwa berdasarkan data sejarah, agak susah bahkan tidak mungkin bagi seseorang untuk mempelajari agama orang lain (outsider), karena itu patut dipertanyakan keabsahan orientalis (non muslim) untuk mngkaji secara obyektif agama Islam. 2. Fazlur Rahman, “Appproaches to Islam in Religius studies: Review Essay,” dalam Appproaches to Islam in Religius studies, ed. Richard C. Martin (Tucson: Universiity of Arizona, 1985). Mengakui kebenaran kritik Rauf tersebut, dengan menambahkan bahwa Orientalis tidak mungkin memasuki kajian Islam pada wilayah normative, lebih-lebih yang bernuansa esoteric. Akhmad Minhaji dalam pengantarnya menambahkan bahwa suatu metodologi yang diharapkan mendekati obyektif dalam kajian hukum Islam apa yang diistilahkan dengan kombinasi dan sinergi antara pedekatan normatif dan empiris, dan model ini hanya bisa dilakukan oleh orang Islam.
E. Metodologi
Surachmat mengatakan bahwa metode merupakan cara utama yang digunakan dalam mencapai tujuan. Dalam mengkaji konflik dalam yurisprudensi Islam ini menggunakan pendekatan fenomenologi dengan langkah – langkah sebagai berikut : 1) Interpretasi (penafsiran) dimaksudkan mencari latar belakang, konteks materi yang ada agar dapat dikemukakan konsep atau gagasan yang jelas. 2) Ekstrapolasi dimaksudkan untuk mengungkapkan sesuatu dibalik yang tersajikan. 3) Pemaknaan dimaksudkan menjangkau yang etik dan yang trasendental dari apa yang disajikan. Selain itu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filologi, dimana bidang kajian berangkat dari teks atau naskah. Teks atau naskah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wahyu Tuhan berupa al Qur’an dan Sunnah. Ada dua hal pokok dalam kegiatan filologi, yaitu 1). Penulisan/ penyalinan kembali terhadap teks asli, dan 2). Pemahaman/memahami teks asli yang ada. Secara umum pendekatan dan metode yang digunakan oleh Coulson sama dengan yang digunakan oleh sarjana Barat lainnya dalam bidang keislaman, yakni tergolong Revisionis atau bahkan Double Revisionis dan bukan Tradisionalis. Karya-karya tentang keislaman termasuk hukum islam dikaji ulang, dan dicoba ditafsirkan kembali data sejarah yang ada dengan menggunakan pendekatan yang lazim di perguruan tinggi Barat.
F. Beberapa istilah penting 1. Wahyu Tuhan yaitu wahyu Tuhan yang diberikan Tuhan kepada nabi Muhammad SAW. Yang berwujud teks al-Qur’an dan praktek nabi (as-sunnah).terhadap nash. 2. Fiqih adalah hasil/produk pemikiran di bidang hukum islam sebagai hasil pemahaman 3. Faqih (ahli hukum islam) yang melakukan ijtihad, berarti faqih adalah mujtahid. 4. Fatwa adalah pendapat ulama tentang satu masalah tertentu, yang prosedurnya diawali dengan pertanyaan 5. Jurisprudensi secara etimologi adalah ilmu atau filsafat hukum. Secara istilah yaitu kumpulan keputusan hakim di pengadilan yang dapat digunakan oleh para hakim sebagai dasar putusan, khususnya terhadap kasus-kasus yang hukumnya belum ditemukan secara tertulis dalam kitab-kitab hukum. 6. Qadi yaitu hakim dalam Islam 7. Istihsan yaitu kecenderungan yang lebih baik (adil) untuk mendapatkan pemecahan masalah yang tepat. 8. Istislah yaitu mencari pemecahan yang terbaik untuk kepentingan umum. 9. Ijma (konsensus) yaitu kesepakatan pandangan para sahabat nabi SAW, juga kesepakatan yang dicapai dalam berbagai keputusan hukum dan dilakukan oleh para mufti yang ahli atau para ulama dan fuqoha dalam berbagai persoalan dinul islam. 10. Analogi (Qiyas) yaitu kesimpulan hukum logis yang diperoleh dengan cara mendasarkan hukum lain yang telah jelas dalilnya.
G. Ruang Lingkup Kajian 1. Wahyu dan Akal Hasil penelitian Coulson menyatakan bahwa Hukum Islam telah dilukiskan sebagai hukum Tuhan sekaligus hukum yang dilahirkan oleh para fuqaha. Gambaran yang agak kontradiksi ini memberi peluang munculnya konflik dasar antara wahyu Tuhan dan pemikiran manuisa (fuqoha), oleh karena itu, Coulson disini membahas peran masing-masing yang dimainkan oleh dua elemen yang berbeda dalam pembentukan hukum Islam. Sumber primer dari pemahaman hukum islam adalah wahyu Tuhan. Yaitu wahyu Tuhan yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW, yang berwujud teks Al Qur’an dan praktek nabi (sunnah). Namun al-Quran dan as-Sunnah secara bersama-sama tidak meliputi pengertian yang merupakan kitab undang—undang yang komprehensif. Materi hukum yang dikandungnya adalah sebuah koleksi dan putusan-putusan yang berangsur-angsur terhadap persoalan-persoalan khusus yang tersebar luas dalam berbagai topik yang berbeda, jauh dari penggambaran sebuah substansi kumpulan tulisan hukum, ia hampir-hampir tidak nampak sebagai satu sistem hukum yang sederhana sekalipun. Rumusan kompromi di dalam konflik ini ditemukan pada tahun-tahun awal abad kesembilan oleh imam asy-Syafi’i, (pendiri Usul-Fiqh) Disatu sisi asy-Syafi’i berdiri kokoh dibelakang prinsip ke-Tuhanan yang mengilhami sunnah Nabi seperti tercatat dalam hadist. Disisi yang lain dia mengakui perlunya akal manusia unatuk menetapkan aturan hukum terhadap situasi yang secara nyata atau secara khusus tidak diatur oleh wahyu Tuhan. Tetapi akal manusia yang demikian tidak dapat digolongkan sebagai ra’yu, sebab akal disini tidak bisa dipakai sebagai sumber hukum terlepas dari kehendak Tuhan dalam mencapai tujuan apapun yang diinginkan para ahli hukum. Yang demikian ini berarti mengakui wewenang manusia disamping wewenang Tuhan. Fungsi akal adalah mengatur kasus-kasus yang baru dengan cara memberlakukan kasus baru tersebut di atas prinsip wahyu Tuhan yang telah mengatur kasus yang sama atau paralel atau disebut qiyas (analogi). Oleh karena itu proses analogi harus menemukan tempat bertolaknya dalam perwujudan kehendak Tuhan yang telah diterima, akal manusia terbatas dalam pelaksanaan dan pengembangan hukum Tuhan dan tidak dapat menjalankan sendiri terlepas dari wahyu. Pengetrapan analogi yang kaku mungkin dapat membawa ketidakadilan, dan dalam keadaan demikian maka diperbolehkan memakai bentuk pemikiran yang agak liberal. Istilah ini disebut istishan (mencari penyelesaian yang lebih adil) atau istislah (mencari penyelesaian yang terbaik untuk kepentingan umum). Coulson menggambarkan bahwa hubungan wahyu Tuhan dan akal manusia terjalin begitu dekat dan hampir tidak dapat dipisahkan. Dalam kenyataanya, pemikiran para fuqaha melahirkan pemikiran yang cukup bervariasi. Ini mengabadikan norma-norma hukum adat yang sudah ada dengan merumuskan proposisi bahwa wahyu Tuhan secara diam-diam mengesahkan hukum adat jika wahyu tidak secara jelas menolaknya, analogi dipakai untuk memperluas putusan-putusan wahyu Tuhan yang spesifik, sedangkan istihsan mengesahkan penyimpangan kaidah dari analogi untuk mencapai suatu pemecahan yang dianggap lebih tepat. Coulson dalam mengungkapkan interaksi unsur wahyu Tuhan dan akal manusia dengan studi kasus tentang warisan. Coulson mengambil studi kasus tentang warisan karena beberapa hal: Pertama, tidak ada topik dalam hukum Islam yang berciri individu yang lebih tegas dari pada topik tentang pewarisan. Ketelitian di dalam penentuan prioritas para ahli yang sah, penetapan jumlah hak mereka, pada umumnya dipandang oleh para sarjana Muslim (ulama) sebagai puncak prestasi pemikiran hukum dan masterpiece dari keseluruhan sistem hukum. Kedua, hukum warisan merupakan bagian integral dan vital dari hukum keluarga dan dalam beberapa hal dapat dikatakan sebagai titik pusatnya, karena sistem prioritas dan nilai kuantitatif telah ditetapkan hak dari masing-masing sanak famili itu menempati dalam skema pertalian dan tanggung jawab keluarga. Coulson mengambil contoh interaksi antara wahyu Tuhan dengan Akal manusia sudah terjadi pada saat nabi mengambil keputusan tentang harta milik Saad, atas pengaduan istri Saad yang tidak mendapatkan harta warisan karena diambil oleh saudara laki-laki Saad. Akhirnya nabi memutuskan bahwa istri Saad berhak mendapat 1/8 dan 2 orang anak perempuan Saad mendapat 2/3 dari harta Saad, sedangkan saudara laki-laki Saad mendapat ashabah. Contoh yang lain adalah pada masa Umar yang menyelesaikan masalah Himariyah. Dimana dia melepaskan ikatan keturunan laki-laki dan mengabaikan ayah mereka, mewarisi karena hubungan matrilineal. Sehingga saudara laki-laki seibu dan saudara laki-laki kandung tidak ada yang dirugikan karena sama-sama mendapatkan sisa harta warisan. Coulson menggambarkan bahwa hubungan wahyu Tuhan dan akal manusia terjalin begitu dekat dan hampir tidak dapat dipisahkan. hukum Islam dalam bentuk perkembangannya merupakan sebuah hukum para ahli hukum (fuqaha) dan bukan hukum para hakim. Hal itu diekspresikan dalam buku-buku sebagai doktrin fuqaha, tidak dalam hukum yang melaporkan kandungan keputusan-keputusan pengadilan. Itu merupakan sistem di mana teoritisi hukum mengkontrol praktisi hukum Dari kenyataan tersebut di atas ada filusuf hukum yang menyampaikan bahwa kedaulatan Hukum Tuhan mencakup segalanya, memberi peluang pada pemikiran manusia untuk merumuskan suatu aturan hukum- apakah dengan penerimaan secara terus-menerus hukum adat atau melalui pemikiran yang bersifat spekulatif-merupakan penolakan terhadap aturan Tuhan. Dalam bahasa teologi Islam adalah “mengadakan saingan bagi Allah” dan menyangkal doktrin dasar tentang ke-Mahatahu-an dan ke-Mahakuasa-an sang Pencipta. 2. Kesatuan dan Keragaman Rosulullah SAW. Bersabda : “Perbedaan pendapat dikalangan umatku adalah rahmat dari Allah”. Ini digunakan untuk menjelaskan sekaligus menjustifikasi yurisprudensi Islam, terutama menyangkut adanya pandangan yang sangat bervariasi dalam ajaran fiqh yang dirumuskan oleh para fuqaha. Dalam batas-batas tertentu konflik antara kesatuan dan keragaman dalam doktrin hukum Islam adalah alami dan merupakan konsekwensi logis konflik dasar yaitu antara wahyu Tuhan sebagai konstanta (tetap/tidak berubah) dan akal manusia sebagai variabel (faktor yang berubah-ubah). Termasuk juga di dalamnya konflik antara sesuatu yang ideal dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam Yusrisprudensi islam diyakini, bahwa hukum syariah itu ada sebagai pemahaman tunggal dan aturan tingkah laku yang seragam yang ditentukan oleh Allah bagi seluruh makhluk-Nya diatas bumi. Tetapi usaha akal manusia dalam rangka memahami dan menggambarkan hukum ideal ini bersifat relatif, konsekuensinya beragamnya hasil pemikiran yuridis tentang syari’ah telah diterima sebagai satu kenyataan. Hal ini terlihat juga dalam teori politik Islam yang meletakkan ide masyarakat Islam sedunia atau umat dibawah penguasa tunggal atau khalifah, sementara dalam realitas sejarah masyarakat Islam telah tebagi-bagi secara politis kedalam berbagai Negara yang independen. Berdasarkan pemikiran hukum yang demikian maka fenomena adanya kesatuan dan keragaman dalam doktrin hukum benar-benar merupakan bagian yang tak terpisahkan dari yurisprudensi Islam. Perbedaan doktrin hukum Islam terkristalisasi ke dalam dua golongan yaitu golongan syi’ah (madzhab ja’fary) dan golongan ahlu sunnah (madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Doktrin Hanafi dan Maliki berbeda secara wajar sepanjang mereka meletakkan dan merefleksikan tradisi dan lingkungan sosial yang khusus dari dua lokasi yang berbeda, dan menurut Syafi’i dan Hambali dua madzhab ini (Hanafi dan Maliki) bentuk-bentuk penggunaan akal mengalahkan sunah Nabi. Tetapi sejak abad ke-9, keempat madzhab tersebut mendukung satu teori umum yang secara prinsip sama menyangkut sumber hukum. Dan dengan adanya tujuan umum yang sama dikalangan mereka, maka persaingan awal di antara mereka lambat laun semakin memudar dan hidup berdampingan secara damai. Perbedaan lokasi geografis atau prinsip yuridis menghilang dan madzhab tersebut saling menganggap kumpulan doktrin mereka sama-sama sah untuk menetapkan hukum Tuhan, dan sama-sama versi yang sah dari syari’ah. Yurisprudensi islam memperlihatkan perbedaan perihal ilmu dan dugaan (zann). ”Ilmu” tertentu dari norma Tuhan hanya dapat terjadi jika ada kebulatan pendapat, yang melibatkan pengakuan dari pendapat-pendapat yang berbeda. Selain dari itu adalah “dugaan”. Disini ijma menyediakan otoritas pelindung bagi doktrin-doktrin yang berlainan dari madzhab yang berbeda. Dalam kasus seorang faqih tidak setuju, maka mereka setuju untuk berbeda. Jadi teori hukum berusaha keras untuk menegaskan kesatuan hukum yang fundamental dalam islam dengan anggapan bahwa empat madzhab memiliki kewenangan yang sama dan memadukannya sebagai manifestasi dari esensi tunggal yang sama. Tetapi dalam praktek batas-batas antara madzhab-madzhab tertutup rapat. Masing-masing madzhab telah memiliki wilayah geografis pengikut terbayak, seperti madzhab Maliki menguasai wilayah Afrika Utara, Barat dan Tengah, Madzhab Hanafi menguasai wilayah Turki, Syiria, Lebanon, Irak dan Yordania dll. Contoh dalam kasus ini adalah perkawinan. Semua madzhab mengakui lembaga perkawinan dan sepakat bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian, diakhiri dengan persetujuan pesta bersama secara sederhana, suami memeperoleh hak menggauli istri karena adanya mahar yang telah ia bayarkan kepada istri. Semua juga sepakat tentang perwalian, akantetapi mengenai kadar kekuasaan wali masing-masing madzhab berbeda pandangan. Menurut fiqh Hanafi apabila wanita tersebut sudah memenuhi kadar rasyid, maka boleh menandatangani perjanjian perkawinannya sendiri. Sedangkan menurut Madzab Maliki, Syafi’i dan Hambali wanita tidak boleh menandatangani perjanjian perkawinannya sendiri. 3. Otoritas dan Kebebasan Yurisprudensi islam adalah sebuah wacana pemikiran untuk memahami istilah-istilah hukum Tuhan secara tepat. Pertanyaannya sekarang Otoritas apa sehingga doktrin yang dihasilkan mampu menguasai praktek, baik bagi ahli hukum yang tugasnya menjelaskan hukum secara rinci, maupun bagi hakim yang tugasnya mengaplikasikan hukum. Dalam interpretasi teks wahyu Tuhan yang telah diterima umum atau dalam peraturan yang menyangkut kasus yang baru, apakah seorang hakim atau ahli hukum memiliki kebebasan personal untuk memutuskan, atau diwajibkan mengikuti otoritas yang diakui ? Karena pada dasarnya sifat hukum syari’ah itu sementara dan spekulatif dan karena keterkaitan di dalam hati nurani keagamaan yang total, konflik antara kebebasan individu dan otoritas yang mengikat dalam kontek ini sangat akut. Pengelompokan para ulama ke dalam madzhab-madzhab berdasar atas ketaatan seseorang ke dalam ahli hukum terkemuka yang telah menarik simpati pada masanya, menciptakan situasi dimana para murid menyesuaikan diri dengan garis kelompok dan memuji kebajikan dan otoritas pemimpinnya, kultus tokoh ini berkembang sedemikian rupa, meskipun para pemimpin itu sendiri selalu menekankan kreatifitas dan kebebasan individu serta kemungkinan salah satu ajaran yang telah mereka tetapkan. Jadi doktrin para fukaha pada awalnya muncul dengan otoritas yang mereka sendiri tidak pernah mengklaim untuk itu. Pada awal abad ke-10 nampak bahwa hasil-hasil awal ahli hukum telah dianggap matang dan tuntas, karenanya ijtihad setelah itu boleh jadi tidak ada manfaatnya . Doktrin-doktrin tersebut sekarang ditulis didalam kitab-kitab hukum berbahasa Arab secara besar-besaran yang bagi setiap madzhab merupakan ekspresi hukum syari’ah yang komprehensif dan memperoleh kedudukan yang sangat penting selama 10 abad berikutnya dan hampir merupakan otoritas ekslusif sebagai karya-karya referensi hukum. Hakim atau ahli hukum tidak lagi merasa bebas mempertimbangkan teks al-Qur’an atau as-Sunnah, tidak dapat lagi menjelaskan dengan analogi atau menggunakan istihsan. Hukum itu mengenal watak periodesasi terutama tentang kapan suatu hukum itu tetap statis, namun norma-normanya mampu menjawab masalah, hal ini terjadi jika norma-norma yang dirancang untuk mengontrol masih sejalan dengan watak masyarakat. Tetapi ketika keadaan masyarakat telah berkembang dan berubah, maka hukum yang sudah tetap itu mulai dipertanyakan dan otoritasnya menjadi hancur. Hukum Islam ternyata tidak lebih imun dari proses umum ini dari pada sistem hukum yang lain. Boleh jadi hukum Islam tetap mantap dan stabil untuk suatu periode yang sangat berlarut-larut. Tetapi ini karena pada dasarnya masyarakat Islam itu sendiri secara relatif tetap statis sepanjang waktu ini. Tetapi sekarang tatkala masyarakat Islam datang menerima nilai-nilai dan ukuran-ukuran tingkah laku yang berbeda, doktrin tradisional semakin dipertanyakan dan prinsip-prinsip taklid pun juga semakin dipersoalkan. Sebagai contoh dari kasus ini adalah perceraian. Perceraian dalam hukum islam tradisional dapat dilakukan melalui tiga cara yang prinsip. Pertama, dengan persetujuan bersama suami istri tanpa menempuh proses pengadilan. Kedua, putusan perceraian dari pengadilan mengabulkan permohonan istri yang menetapkan bahwa suaminya menderita penyakit ingatan, atau penyakit jasmani atau bersalah pelanggaran perkawinan, seperti penganiayaan, meninggalkan keluarga atau gagal memberi nafkah. Ketiga, pemutusan perkawinan secara sepihak oleh suami yang menggunakan kekuasaannya yang dikenal dengan talaq, suatu proses yang membedakannya dari bentuk-bentuk perceraian yang lain, disebut dengan “repudasi” (penolakan) istri oleh suami. Menurut konsensus fuqaha tradisional, kekuasaan penolakan yang dimiliki suami adalah sewenang-wenang dan absolut. Dia dapat menggunakannya sewaktu-waktu, dan motifnya dalam menjatuhkan talak tidak dapat digugat, baik melalui pengadilan atau badan resmi lainnya. Akantetapi hukum status personal Tunisia 1957, secara singkat menyatakan: “perceraian diluar pengadilan, sama sekali tidak memiliki efek hukum”. Seorang suami yang ingin mentalak istrinya harus hadir di pengadilan, dan pihak pengadilan akan mengeluarkan putusan perceraian. Jika suami membandel pengadilan diberi wewenang untuk menetapkan, mengingat akan semua keadaan ini, apakah suami akan membayar ganti rugi istri, dan jika demikian, ganti rugi diberikan tanpa suatu batas yang ditentukan hukum. 4. Idealisme dan Realisme Salah seorang ulama’ mesir yang pergi menyembunyikan diri, ketika dia diminta untuk memangku jabatan qadi, bertanya pada dirinya sendiri wahai Tuhanku apakah saya akan tampil sebagai qadi pada hari qiamat ? tidak pernah ! walaupun saya dipotong dengan gunting besar. Kutipan-kutipan lain yang diduga berasal dari Nabi : “Barang siapa ditunjuk menjadi qadi ia telah melukai tenggorokannya tanpa pisau” Anekdot ini menggambarkan sikap idealisme obyektif yang muncul mendominasi yurisprudensi Islam. Perdebatan yurisprudensi yang dimulai menjelang akhir abad ke-8 dan akhirnya menghasilkan teori sumber hukum (syari’ah) yang merupakan sebuah sistem hukum yang mempunyai eksistensi terlepas dari masyarakat, tidak timbul dari masyarakat tetapi ditetapkan dari atas untuk masyarakat. Idealisme para ahli hukum abad pertengahan ini yang mengadopsi peran penasehat spiritual yang menekankan hati nurani dari pada tehadap penyelenggara perkara prakteknya, hal ini telah menciptakan perselisihan yang nyata antara doktrin hukum dan praktek hukum serta pemisahan yang jelas antara peran faqih dan peran hakim. Oleh karena itu dalam Islam ada ketegangan yang signifikan antara Ideal hukum dan realitas sosial. Sejauh mana doktrin murni dapat diterjemahkan ke dalam praktek aktual ? Seberapa jauh realitas hukum dalam Islam sesuai dengan sistem ideal syari’ah seperti yang telah diuraikan secara rinci oleh para ahli hukum ? Hal penting yang harus dipertimbangkan adalah bagaimana para ahli hukum memvisualisasikan hukum syari’ah itu dijalankan. Pola apa yang diajukan oleh para ahli hukum berkenaan dengan konstitusi pengadilan dan peraturan-peraturan prosedur dan bukti yang seharusnya mereka ikuti, untuk penerapan hukum substantif (riil) terhadap perselisihan aktual ?. Ketegangan antara idealisme dan realisme dalam hukum Islam secara sederhana dapat diungkapkan dengan perbedaan antara doktrin hukum dan praktek hukum. Pendekatan seorang realis terhadap pertanyaan tentang peran hukum dalam masyarakat muslim telah punya arti pada masa lalu dan lebih-lebih masa sekarang bahwa idealisme doktrin baik dalam masalah-masalah substansi maupun prosedur, di dalam praktek terpaksa harus tunduk kepada kepetingan Negara dan masyarakat. Tentu saja, doktrin syari’ah tradisional masih tetap menjadi sistem kehidupan ideal dan komprehensif bagi masa keemasan Islam pada masa lalu maupun yang akan datang. Dan bahkan adanya kritik yang terang-terangan ia tetap menjadi titik pusat pemikiran hukum, menggunakan pengaruh yang dapat menembus sebagai batu ujian yang dengannya doktrin alternatif dan institusi-institusi diukur dan dinilai. Tetapi untuk semua ini doktrin syariah baik dalam tradisi sejarah maupun praktek kontemporer, hanya merupakan bagian dari sistem hukum Islam aktual. Para qadi tidak pernah membentuk pengadilan independen dalam pengertian yang sebenarnya. Karena diangkat dan dipecat oleh penguasa politik maka para qadi menjalankan jabatan peradilan sebagai delegasinya. Dan bilamana, karena ketaatan mereka kepada doktrin syari’ah yang idealitik, yang menyebabkan administrasi peradilan mereka tidak berjalan secara baik, maka dengan mudah penguasa mengangkat delegasi yang lain. Pada akhirnya gap antara pola ideal hukum syari’ah seperti telah dijelaskan secara rinci oleh para fuqaha dan praktek hukum aktual dalam islam, telah diakui dan disyahkan oleh ilmu pengetahuan hukum melalui doktrin yang dikenal dengan siyasah syar’iyyah atau “ilmu pemerintahan yang sesuai dengan hukum Tuhan”. Contoh dari kasus ini adalah pengadilan Maliki di Afrika Barat Laut yang mengakui keabsahan kontrak khamisa. Karena kontrak ini telah dipraktekan secara luas sebagai sesuatu kebutuhan ekonomi dalam masyarakat yang mempunyai modal fluktuasi kecil dan atas dasar kebutuhan, sehingga hal itu menjadi bagian dari hukum syari’ah. Contoh yang lainnya adalah sebuah sistem registrasi resmi tentang perkawinan dan perceraian. Hukum syari’ah tradisional menolak bentuk bukti dokumenter apapun, atas dasar, seorang mengira, bahwa pemalsuan yang akan membohongi pengadilan adalah sangat mungkin dalam keadaan dan waktu ketika sebuah doktrin dirumuskan. Namun demikian kondisi modern telah banyak penyalahgunaan dan ketidakadilan dengan pembuktian lisan dan saksi sehingga mengharuskan sebuah alat bukti tertulis sebuah sertifikat perkawinan. 5. Hukum dan Moralitas Dalam material primer syari’ah al-Qur’an, tidak ada perbedaan yang jelas dan konsisten antara moral dan peraturan hukum. Seperti rumusan etika hukum Islam, al-Qur’an menetapkan masalah-masalah pokok untuk membedakan yang benar dan yang salah, baik buruk, pantas dan tidak pantas. Biasanya hal itu tidak diteruskan kepada tingkat sekunder menyangkut norma-norma tingkah laku dengan konsekwensi hukum. Pelanggaran terhadap etika agama islam merupakan pelanggaran terhadap hukum Tuhan sebagaimana pelanggaran-pelanggaran lain yang karenannya pengadilan dapat memutuskan hukuman. Dalam terminologi kita, syari’ah islam adalah sebagai undang-undang hukum dan undang-undang moral. Dalam teori, syari’ah selalu bersifat totaliter dan merupakan aturan yang komprehensif menyangkut tingkh laku yang meliputi setiap aspek kehidupan manusia dan mengatur hubungan individu dengan Tuhan, dengan negara, dengan tetangga dan dengan hati nuraninya sendiri atas dasar yang sama dari ketentuan-ketentuan perintah Tuhan. Maka aktifitas manusia, lembaga sosial manapun dalam Islam pada hakekatnya mempunyai arti keagamaan. Adapun contoh yang diangkat adalah tentang perkawinan diantara dua mazhab, meskipun ada kesempatan untuk bercerai, semua mazhab sunni sepakat bahwa akad perkawinan, pada hakekatnya adalah perjanjian untuk bersatu secara abadi, dan karena itu akad perkawinan yang berisikan dengan sengaja untuk suatu masa waktu yang terbatas adalah sama sekali bukan perkawinan dan batal menurut hukum. Menurut fiqh Hanbali akad perkawinan yang mengandung makna tertentu juga batal, meskipun tidak ada syarat batas waktu yang nyata, ada bukti bahwa yang berakad itu sebenarnya bermaksud untuk kawin sementara. Tetapi menurut fiqh Hanafi, bukti dari maksud fikiran atau hati pihak-pihak yang berakad adalah tidak relevan. Jika akad eksternal dan formal, lisan atau tulisan, adalah sesuai dengan syarat-syarat hukum, perkawinan itu adalah sah. Para pengikut Hanafi puas dengan pernyataan bahwa maksud yang tidak benar apapun dari pihak-pihak yang berakad boleh jadi masalahnya diserahkan antara mereka sendiri dan Allah. Dari pernyataan Noel tersebut mengindikasikan bahwa masalah hati harus tetap diperhitungkan dalam hukum, sedangkan Islam karena memiliki aqidah yang jauh berbeda dengan yang lainnya, maka masalah niat di hati diserahkan pada Allah, dan ini benar karena dalam islam memberitahukan bahwa sesuatu itu tidak diperhitungkan sebagai dosa selama berada dalam niat dan belum sempat dilaksanakan oleh pelakunya. Kalaupun hal itu dia lakukan seperti dalam masalah perkawinan tadi, maka pertanggungjawabannya tentu saja langsung pada Allah. Dan sebenarnya perbedaan pendapat antara fuqaha dan Noel adalah beasal dari paradigma yang melatarbelakanginya, bahwa Islam mempercayai adanya balasan baik buruk di akhirat, sedangkan Noel tidak. 6. Stabilitas dan perubahan Wahyu Tuhan, kesatuan doktrin yang berasal dari konsensus universal, sifat otoriter dalam bentuk doktrin taqlid dan idealisme, yang melihat doktrin syari’ah sebagai pola kehidupan yang selalu benar semuanya merupakan faktor-faktor yang secara bersama-sama menuju kestabilan hukum yang kaku. Dilain pihak, akal manusia dalam hukum, keragaman doktrin yang dihasilkan, liberalisme yang meninggalkan sifat keramat doktrin masa lalu dan penyelidikan independen yang dibolehkan dan pendekatan seorang realis terhadap fakta-fakta kehidupan semuanya adalah elemen-elemen yang kondusif terhadap adanya perubahan dan variasi dalam hukum. Perubahan dalam hukum sekarang diterima sebagai sesuatu yang logis dan diperlukan sekali dan tidak semata-mata sebagai penyimpangan kebutuhan dari patokan ideal yang tidak dapat berubah. Tetapi sikap yurisprudensi klasik dan tradisional membantah dengan dua dalil fundamental, pertama wahyu Tuhan menetapkan peraturan dan patokan yang berlaku dalam semua kondisi dan waktu, kedua, wahyu Tuhan menjawab secara langsung atau tidak langsung setiap masalah hukum. Pendeknya perintah Tuhan kebenarannya komprehensif dan abadi. Tentang doktrin klasik yang berkenaan dengan hakekat wahyu Tuhan yang komprehensif beserta prinsip derivatifnya, bahwa peraturan hukum apapun harus berasal dari wahyu Tuhan, baik secara langsung yang didasarkan kepada teks al Qur’an atau as Sunah, atau secara tidak langsung dengan cara deduksi analogis yang cermat, hal ini secara berangsur-angsur akan memberikan jalan menuju kepada suatu sikap bahwa akal manusia adalah bebas untuk menentukan peraturan hukum kecuali kalau masalah yang relefan secara nyata telah diatur oleh wahyu Tuhan. Ringkasnya, perbedaan esensial antara filsafat hukum tradisional dengan filsafat hukum modern adalah bahwa praktek sosial atau institusi sosial dapat memperoleh jastifikasinya dengan dukungan positif wahyu Tuhan, tetapi dalam pandangan modern dengan tidak adanya aturan negatif dari wahyu Tuhan, hukum dapat ditegakan dan dihasilkan secara sah oleh kebutuhan sosial, asal saja tidak melanggar batas-batas yang ditetapkan oleh perintah Tuhan. Sebagai contoh dari kasus ini adalah pengadilan Pakistan telah mendukung Peraturan hukum keluarga tahun 1961 yang memasukan kedalam sistem warisan peraturan pewarisan pengganti dari cucu almarhum yang telah yatim. Sekarang cucu yang seperti itu menggantikan kedudukan orang tauanya yang telah meninggal dunia lebih dulu dan berhak mewarisi harta kakeknya yang seharusnya diwarisi oleh orang tuanya. H. Kontribusi Keilmuan Coulson memperlihatkan bahwa di dalam menciptakan struktur hukum secara lengkap hubungan wahyu Tuhan dan akal manusia terjalin begitu dekat dan hampir tidak dapat dipisahkan. Dalam kenyataannya, pemikiran para fuqaha melahirkan pemikiran yang cukup bervariasi. Ini mengabdikan norma-norma hukum adat yang sudah ada dengan merumuskan proporsi bahwa wahyu Tuhan secara diam-diam mengesahkan hukum adat jika wahyu tidak secara jelas menolaknya; analogi dipakai untuk memperluas putusan-putusan wahyu Tuhan yang spesifik, sedangkan “istihsan” mengesahkan penyimpangan kaidah dari analogi untuk mencapai suatu pemecahan yang dianggap lebih tepat. Tetapi bentuk apapun yang diambil, spekulasi yuridis pada masa klasik tidak dianggap sebagai suatu proses yang independen yang menciptakan lapangan hukum buatan manusia disamping peraturan-peraturan Tuhan, ia sama sekali tunduk kepada kehendak Tuhan, dan dalam beberapa hal yang berfungsi mencari pemahaman dan pelaksanaan maksud-maksud Allah bagi masyarakat muslim. Konflik seperti ini berkenaan dengan bidang wewenang dan peran akal sebagaimana sudah dalam yurisprudensi tradisional yang hanya berkenaan dengan cara, karena dengan tujuan ini dapat dicapai. Dari sudut ini hukum Islam adalah hukum Tuhan dan sekaligus hukum buatan manusia. Dalam pemikiran yurisprudensi Islam dua deskripsi tersebut adalah saling melengkapi dan tidak saling kontradiksi I. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa konflik di dalam yurisprudensi islam terjadi karena antara wahyu Tuhan yang diwujudkan dalam (al-Qur’an dan as-Sunnah) terdapat bidang aktifitas intelektual yang sangat luas untuk memastikan dan mengungkapkan batasan-batasan kehendak Tuhan dan mentransformasikannya ke dalam sistem hak-hak dan kewajiban yang dapat diselenggarakan menurut hukum. Menurut Noel James Coulson ada enam hal yang menjadi konflik dalam Yurisprudensi Islam, yaitu: 1. Wahyu dan akal 2. Kesatuan dan keragaman 3. Otoritas dan kebebasan 4. Idealisme dan realisme 5. Hukum dan moralitas 6. Stabilitas dan perubahan Yang menjadi sentral atau pokok dalam konflik yurisprudensi islam adalah pada hubungan wahyu dan akal. Dari persoalan itu kemudian muncul masalah-masalah lain seperti kesatuan dan keragaman, otoritas dengan kebebasan, idealisme dengan realisme, hukum dengan moralitas dan stabilitas dengan perubahan.
DAFTAR PUSTAKA Baiquni Syihab, Muhammad , Koreksi terhadap buku konflik dalam yurisprudensi islam, karya Noel j. Coulson, dalam http://ekonomipolitikislam. blogspot.com/2009/04/koreksi-terhadap-buku-konflik-dalam.html Coulson, Noel J, 2001 Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence, Konflik Dalam Yurisprudensi Islam, terj. Akh. Minhaji, Chicago University, USA Hallaq, Wael B, 2001 Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. I Doi, A. Rahman, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996 Maher Wijaya, Pamela dalam http://jurnalpamel.wordpress.com/islamic-studies-2/konflik-dalam-yurisprudensi-islam/ Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002 Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Academia, 2009 Partanto, Pius A & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: arkola, 1994 Usman, Suparman, 2001 Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001 www. wikipedia.or.id di download pada 27 April 2011

Tidak ada komentar: