Sabtu, 16 Februari 2013

Arab pra islam


ARAB PRA - ISLAM
(Tinjauan dari Aspek Sosiografis,  Budaya dan  Agama)
Oleh : Kasan As’ari, M.Pd.I
 
A. Pendahuluan
Mengkaji tentang Islam akan lebih sempurna bila kita mengkaji Arab pra-Islam terlebih dahulu, karena Islam lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah mempunyai adat istiadat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Apalagi ia muncul di kota terpenting bagi mereka yang menjadi jalur penting bagi lalu lintas perdagangan mereka kala itu[1].
Secara umum, Arab pra-Islam disebut sebagai periode Jahiliyyah yang berarti kebodohan dan barbarian[2]. Secara nyata, dinyatakan oleh Philip K. Hitti yang dikutip Sulhani Hermawan, bahwa masyarakat Makkah pra-Islam adalah masyarakat yang tidak memiliki takdir keistimewaan tertentu (no dispensation), tidak memiliki nabi tertentu yang terutus dan memimpin (no inspired prophet) serta tidak memiliki kitab suci khusus yang terwahyukan (no revealed book) dan menjadi pedoman hidup.[3]

Merujuk kata "Jahiliyyah" dalam al-Qur'an, yaitu dalam surat Ali Imron/3 ayat 154, Surat Al Ma'idah/5 ayat 50, dan surat al-Fath/48 ayat 26, kata "Jahiliyyah",[4] cukup memberikan sebuah petunjuk bahwa masyarakat Jahiliyyah itu memiliki ciri-ciri yang khas pada aspek keyakinan terhadap Tuhan (zhann bi Allahi), aturan-aturan peradaban (hukm), life style (tabarruj) dan karakter kesombongannya (hamiyyah). Muhammad Quthb  menambahkan bahwa jahiliyyah yang dimaksudkan didalam ayat-ayat tadi adalah lawan kata dari Al a’lim (mengetahui) dan Al halim (sopan santun) dan merupakan sinonim dari kata la ya’lamun (tidak mengetahui), jadi Jahiliyyah yang dimaksudkan adalah orang yang tidak mengetahui hakikat Tuhan (dalam kejiwaan dan prilaku).[5]
Kebanyakan buku-buku sejarah dan sirah nabawiyah yang ditulis, Arab pra-Islam selalu diidentikan dengan keadaan masyarakat yang amoral, biadab, tidak berperikemanusiaan, suka berperang, membunuh anak perempuan dan masih banyak lagi perilaku bejat yang dilekatkan pada masyarakat Arab pada umumnya. Penulisan ini sebenarnya sangat sepihak karena tidak utuh didalam memandang suatu persoalan yang terjadi dimasyarakat Arab pada khususnya. Selain perilaku yang buruk tadi ternyata masyarakat Arab juga memiliki adat-istiadat, sikap, perilaku yang baik dan masih tetap disyariatkan setelah agama Islam datang[6].
Tulisan dalam makalah ini akan mencoba mengeksplorasi kondisi bangsa Arab pra-Islam, baik dari aspek geografi, sosial budaya dan agama.





B. PEMBAHASAN
Kata Arab secara etimologis berasal dari kata “a’raba” yang berarti bergoyang atau mudah berguncang, dalam tata bahasa Arab (nahwu dan shorof) berubah menjadi i’rab yang berarti perubahan bentuk suku kata sesuai dengan perubahannya. Dalam gambaran yang stereotipe bangsa Arab disebut memiliki temperamen yang panas dan emosi yang labil.[7] Akan tetapi keistimewaan jazirah Arab adalah tempat lahir sebuah agama, yang pada akhirnya nanti, menjadi agama yang mendunia, yaitu Islam.
Untuk melacak asal-usul orang Arab, yang termasuk golongan semit,[8] kita harus merunut jauh ke belakang yaitu pada sosok Ibrahim dan keturunannya yang merupakan keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Ada juga yang menyebut bangsa Arab termasuk ras atau rumpun bangsa  secara Caucasoid, dalam sub ras Mediterranean yang anggotanya meliputi wilayah sekitar laut tengah, Afrika utara, Armenia, Arabia dan Irania.[9] Secara geneaologis, para sejarahwan membagi orang Arab menjadi Arab Baydah dan Arab Bāqiyah. Arab Baydah adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah ‘Ad, Thamud, asm, Jadis, Ahab al-Ras, dan Madyan. Arab Bāqiyah adalah orang Arab yang hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qaḥṭān dan Bani ‘Adnān. Bani Qaḥṭān adalah orang-orang Arab ‘Áribah (orang Arab asli) dan tempat mereka di Jazirah Arab.[10] Di antara mereka adalah raja-raja Yaman, Munadharah, Ghassan, dan raja-raja Kindah. Di antara mereka juga ada Azad yang darinya muncul Aus dan Khazraj. Sedangkan Bani ‘Adnān, mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian utara. Sedangkan tempat asli mereka adalah Mekah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim. Salah satu anak Nabi Isma’il yang paling menonjol adalah ‘Adnān. Muhammad adalah keturunan ‘Adnān. Dengan demikian beliau adalah keturunan Isma’il. Menurut Ibnu Hishām (w. 218 H), semua orang Arab adalah keturunan Isma’il dan Qaḥṭān. Tetapi menurut sebagian orang Yaman, Qaḥṭān adalah keturunan Isma’il dan Isma’il adalah bapak semua orang Arab[11].

1.     Kondisi Geografis Arab
Secara geografis, Jazirah Arab diampit oleh dua benua, Afrika dan Asia. Orang barat menyebutnya timur tengah[12] atau Asia Barat karena kawasan ini terletak di tengah antara timur dekat (semenanjung Balkan di daratan Eropa)  dengan timur jauh (Asia Timur). Ada juga yang menyebut Asia barat karena Jazirah Arab berada di benua Asia paling Barat.[13]
Sebagian ahli sejarah menamai tanah Arab itu "Shibhul jazirah" yang dalam bahasa Indonesia berarti "Semenanjung".  Kalau diperhatikan kelihatan bahwa Jazirah Arab itu berbentuk empat persegi panjang, yang sisi-sisinya tidak sejajar, di sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah, disebelah selatan dengan Lautan Hindia, di sebelah timur dengan Teluk Arab (dahulu namanya Teluk Persia) dan di sebelah utara dengan Gurun Irak dan Gurun Syam (Gurun Siria). Panjangnya 1000 Km lebih, dan lebarnya kira-kira 1000 Km.[14]
 Jazirah Arab dibagi menjadi dua bagian. Pertama, jantung Arab. Ia adalah wilayah yang berada di pedalaman. Tempat paling utama adalah Najd. Kedua, sekitar Jazirah[15]. Penduduknya adalah orang-orang kota. Wilayah yang paling penting adalah Yaman di bagian selatan, Ghassan di sebelah utara, Ihsa` dan Bahrain di sebelah timur, dan Hijaz di sebelah Barat. Ada juga yang membagi menjadi tiga wilayah bagian, yaitu:[16]
1.    Arab Petrix atau Pedisebelltracea, yakni wilayah yang terletak di sebelah barat daya gurun Syiria, dengan Petra sebagai pusatnya.
2.    Arab Diserta atau gurun Syiria yang kemudian dipakai untuk menyebut seluruh jazirah Arab karena tanahnya tidak subur.
3.    Arab Felix, wilayah hijau (Happy Land) yakni wilayah Zaman yang memiliki kebudayaan majudengan kerajaan Saba’ dan Ma’in
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya apa yang dimaksud dengan Arab di sini bukanlah daerah di mana penduduknya berbahasa Arab seperti Mesir, Sudan, Maroko, dan lain-lain tetapi hanya mencakup dua atau tiga bagian dari daerah di atas.

2.     Aspek Sosial-Budaya Arab Pra-Islam
Sistem sosial masyarakat Arab pra-Islam mengikuti garis bapak (patriakal) dalam memperhitungkan keturunan, sehingga setiap nama selalu menyebut bapaknya, kalau laki-laki dengan bin, kalau anak perempuan dengan binti. Orang Arab akan bangga dengan rentetan nama dibelakangnya karena menunjukan kabilah dan suku bangsa dari nenek moyang mereka yang sangat dihormati.[17] Klan atau kabilah biasanya dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih oleh warga klan yang tua-tua dari salah satu warga berpengaruh yang disebut syaikh. Syarat seorang Syaikh  biasanya dia harus seorang yang kaya dan suka berderma kepada fakir miskin dan kepada pendukungnya, ia haruslah orang yang berprilaku adil dan bijak, sabar, pemaaf, dan rajin bekerja, diatas itu semua biasanya dia juga harus adil didalam mengambil keputusan.[18]
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun (Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab) dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.
Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.[19]
Sebagai lalu lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu banyaknya, yaitu Ukā, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban kecil. Bahkan masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada sejak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbā (400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, imyar, al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang berhubungan dengan bermacam-macam penjuru.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas, dan peradaban yang hanya berdasarkan pada nilai-nilai materialistik.[20] Pencapaian mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan imyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah. Memang persoalan apakah orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta tersebut menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suatu mukjizat ada kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.[21]

3.     Agama dan Sistem Keyakinan Arab Pra-Islam
Paganisme, Yahudi, Majusi dan Nasrani adalah agama orang Arab pra-Islam.[22] Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Ada sekitar 360 berhala yang mengelilingi berhala utama, Hubal, yang terdapat di Ka’bah.[23]  Orang yang pertama kali memasukan berhala dan mengajak menyembah adalah Amr bin Luhayyi bin Qam’ah, nenek moyang bani Khuza’ah[24]. Mereka berkeyakinan bahwa berhala-berhala itu dapat mendekatkan mereka pada Tuhan sebagaimana yang tertera dalam al-Quran. Agama pagan sudah ada sejak masa sebelum Ibrahim. Setidaknya ada beberapa sebutan bagi berhala-hala itu: Sanam, Wathan, Nuub, Latta, Uzza, Manat dan Hubal. anam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nuub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Lata Dewa tertua, Uzza bertempat di Hijaz, Manat bertempat di Yatsrib dan ubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik yang dianggap dewa terbesar[25].
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk Yahudi di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās adalah seorang penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuh dengan pedang atau dibuat cacat. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit”[26].
Adapun Kristen di Jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang ada adalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen yang meruncing. Menurut Muammad ‘bid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Naārā” bukan “al-Masīīyah” dan “al-Masīī” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Naārā” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “awārīyūn”. Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhhab-madhhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk Jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian selatan Jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru Jazirah Arab yang memastikan bahwa dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraysh yang mana mereka berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, da abashah. Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi adalah sekte Ebionestes[27].
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain agama di atas adalah anīfīyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah anīfīyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, aif, dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin Abī al-alt, Zayd bin ‘Amr bin Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin Jash, Ka’ab bin Lu`ay, ‘Abd al-Muallib, ‘As’ad Abū Karb al-amīrī, Zuhayr bin Abū Salma, ‘Uthmān bin al-uwayrith.[28]
Tradisi-tradisi warisan mereka yang kemudian diadopsi Islam adalah: penolakan untuk menyembah berhala, keengganan untuk berpartisipasi dalam perayaan-perayaan untuk menghormati berhala-berhala, pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan penolakan untuk memakan dagingnya, pengharaman riba, pengharaman meminum arak dan penerapan vonis hukuman bagi peminumnya, pengharaman zina dan penerapan vonis hukuman bagi pelakunya, berdiam diri di gua hira sebagai ritual ibadah di bulan ramaan dengan memperbanyak kebajikan dan menjamu orang miskin sepanjang bulan ramaan, pemotongan tangan pelaku pencurian, pengharaman memakan bangkai, darah, dan daging babi, dan larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan beban-beban pendidikan mereka[29].

C. Kesimpulan dan Penutup
Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa Arab pra-Islam yang biasa disebut Jahiliyyah, tidak bisa dinisbatkan kepada suatu kabilah, suku dan bangsa tertentu, atau kurun masa tertentu karena Jahiliyyah itu adalah sifat-sifat dan prilaku manusia. Jahiliyyah bisa di alami manusia zaman dahulu atau manusia modern sekarang ini, asal ciri-ciri sikap dan prilaku menunjukan Jahiliyyah.
Hidup orang Arab pra-Islam terbagi menjadi dua. Pertama, masyarakat madani yang bertani dan berdagang. Kedua, bersatu dalam kebiasaan-kebiasaan (clan) kabilah-kabilah pengembara yang banyak bertumpu pada peraturan-peraturan yang telah ada. Corak yang pertama dianut masyarakat perkotaan atau mereka yang telah mencapai peradaban lebih tinggi terutama Yaman, sementara corak kedua dianut oleh masyarakat badui yang diwakili oleh daerah Hijaz dan sekitarnya.
Kita jangan berlebihan dan apriori didalam menyikapi tradisi-tradisi Arab sebelum Islam. Seakan-akan semua tradisi mereka jelek, karena ada sebagian tradisi Arab pra-Islam yang baik dan tetap dipertahankan, sesuai kaidah fiqh “al Muhafadhotu ala qodimi sholih, wal aqdu bil jadidil ashlah”.
Demikian makalah ini disusun, kami yakin masih banyak kekurangan, karena itu adalah sifat dasar kami. Untuk itu kritik dan saran yang membangun demi perbaikan keilmuan Islam sangat kami harapkan.





















Daftar Pustaka

 A Partanto, Pius,  Kamus Ilmiah, Surabaya: Arkola, 1994.
Al A’zami, M.M. , The History of The Qur’anic text: from revelation to Compilation A Comparative  Study with The Old and New Testaments, terj. Sohirin Sholihin dkk.Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Al Qur’an dan Terjamahnya yang diterbitkan oleh badan Wakaf dan Pelayanan Dua tanah Suci Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Sa’ud, tth.
G. S. Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam, Consienceand History in a world civilization, Terj. Mulyadi Kartanegara .Jakarta:Paramadina,cet II, 2002.
Haykal, Muammad usayn. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.
http://centrin21.tripod.com/sejarah.htm/  di download pada hari Selasa, 10 November 2010, jam 09.32
http://rasulullahsaw.atwiki.com/page/BAB%2001.%20ARAB%20PRA-ISLAM di Download pada hari Selasa, 10 November 2010, Jam 09.36
Ibrahim Hasan, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta:Kalam Mulia, cet II, 2006.
M. Lapidus, Ira,  A History of Islamic Societies, terj. Ghufron A. Masudi .Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999.
Mufrodi, Ali,  Islam di kawasan Kebudayaan Arab,Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Quthb, Muhammad, Perlukah menulis ulang sejarah Islam,Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Said Ramadhan Al Buthi, Muhammad, Sirah Nabawiyah, analisis ilmiyah manhajiah, sejarah pergerakan Islam dimasa rasulullah, Alih Bahasa AunurRafiq Saleh Tamhid, Jakarta:Robbani Press, 2005.
Su’ud, Abu, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Yatim, Badri, historiografi Islam, Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997.


[1]http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/10/18/kondisi-Arab-pra-Islam-dalam-aspek-sosial-budaya-agama-ekonomi-dan-politik/ di download pada hari selasa, 10 November 2010, jam 9.55 WIB, lihat juga di http:// centrin21. tripod.com/sejarah.htm,lihat juga, Badri Yatim, historiografi Islam, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 27 ,bandingkan dengan Pius A Partanto, Kamus Ilmiah, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 66, tentang kata Barbar, yang berarti biadab, tidak beradab, kejam, manusia biadab.
[2] Menurut Ira M. Lapidus, Barbarian adalah pola hidup nomadis, untuk menaklukan kekuasaan, dan membagi-bagikan kekayaan agar tampil sebagai pemenang demi status laki-laki beradab, lihat Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, terj. Ghufron A. Masudi (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999) hlm.7
[3] Lihat Sulhani Hermawan dalam http://www.2dix.com/doc-2010/Arab-pra-Islam-doc.
[4] Arti potongan  QS. Ali Imran: 154 adalah, “mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyyah”, arti potongan QS. Almaidah: 50, adalah, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin”, arti potongan QS. Al Fath ayat 26, adalah, “ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada rasul-Nya” Lihat Al Qur’an dan Terjamahnya yang diterbitkan oleh badan Wakaf dan Pelayanan Dua tanah Suci Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Sa’ud, tth.
[5] Muhammad Quthb, Perlukah menulis ulang sejarah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 53
[6] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Sirah Nabawiyah, analisis ilmiyah manhajiah, sejarah pergerakan Islam dimasa rasulullah, Alih Bahasa AunurRafiq Saleh Tamhid, (Jakarta:Robbani Press,2005), hlm. 12-13
[7] Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 14,,bandingkan dengan, Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta:Kalam Mulia, cet II, 2006), hlm. 2,  yang menyusuri kata Arab dari makna hakiki (Arabia=Shahara)
[8] M.M. Al A’zami, The History of The Qur’anic text: from revelation to Compilation A Comparative  Study with The Old and New Testaments, terj. Sohirin Sholihin dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm.16
[9] Ali Mufrodi, Islam di kawasan Kebudayaan Arab,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.5
[10] Lihat di http://msubhanzamzami.wordpress.com, Ibid,  lihat juga, Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 13
[11] Ibid, hlm.17-18
[12] Marshall G. S. Hodgson tidak suka menyebut timur tengah, tapi lebih suka dengan istilah “negeri atau daratan-daratan dari Nil ke Oksus”, lihat di Marshall G. S. Hodgson, The Venture Of Islam, Consienceand History in a world civilization, Terj. Mulyadi Kartanegara (Jakarta:Paramadina,cet II, 2002), hlm. 165
[13]  Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah,.. hlm. 14
[15] http://msubhanzamzami.wordpress.com, Ibid
[16] Ali Mufrodi, Ibid, hlm.6
[17] Abu Su’ud, ibid, hlm. 15
[18] Ira M. Lapidus, Ibid, hlm. 19
[19] Abu Su’ud, Ibid, hlm. 16, lihat juga Marshall G. S. Hodgson, Ibid, hlm. 212, ali Mufrodi, Ibid, hlm 5-6, bandingkan dengan Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah..Ibid, hlm 114
[20]  Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Sirah Nabawiyah, Ibid, hlm. 9, lihat juga, http://msubhanzamzami.wordpress.com, Ibid, Muhammad Quthb, Ibid, hlm. 63
[21] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi,  Ibid, hlm. 12,
[22] Abu Su’ud, Ibid, hlm. 17
[23] Badri Yatim, Sejarah Peradaban...ibid, hlm. 9
[24] Muhammad Said ramadhan al Buthi, Ibid, hlm. 20
[25] Badri yatim, Ibid, hlm. 15-16
[26] http://msubhanzamzami.wordpress.com, Ibid,
[27] Ibid
[28] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Ibid, hlm. 21, bandingkan dengan Ali Mufrodi, Islam dikawasan kebudayaan Arab,..hl.  9
[29] http://msubhanzamzami.wordpress.com, Ibid,

Tidak ada komentar: