ARAB PRA - ISLAM
(Tinjauan dari Aspek Sosiografis, Budaya dan Agama)
Oleh : Kasan As’ari, M.Pd.I
A. Pendahuluan
Mengkaji tentang Islam
akan lebih sempurna bila kita mengkaji Arab pra-Islam terlebih dahulu, karena Islam
lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah mempunyai adat istiadat yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Apalagi
ia muncul di kota terpenting bagi mereka yang menjadi jalur penting bagi lalu
lintas perdagangan mereka kala itu[1].
Secara umum, Arab pra-Islam
disebut sebagai periode Jahiliyyah yang berarti kebodohan dan barbarian[2].
Secara nyata, dinyatakan oleh Philip K. Hitti yang dikutip Sulhani Hermawan, bahwa
masyarakat Makkah pra-Islam adalah masyarakat yang tidak memiliki takdir
keistimewaan tertentu (no dispensation), tidak memiliki nabi tertentu
yang terutus dan memimpin (no inspired prophet) serta tidak memiliki
kitab suci khusus yang terwahyukan (no revealed book) dan menjadi
pedoman hidup.[3]
Merujuk kata "Jahiliyyah" dalam al-Qur'an, yaitu dalam surat Ali Imron/3 ayat 154, Surat Al Ma'idah/5 ayat 50, dan surat al-Fath/48 ayat 26, kata "Jahiliyyah",[4] cukup memberikan sebuah petunjuk bahwa masyarakat Jahiliyyah itu memiliki ciri-ciri yang khas pada aspek keyakinan terhadap Tuhan (zhann bi Allahi), aturan-aturan peradaban (hukm), life style (tabarruj) dan karakter kesombongannya (hamiyyah). Muhammad Quthb menambahkan bahwa jahiliyyah yang dimaksudkan didalam ayat-ayat tadi adalah lawan kata dari Al a’lim (mengetahui) dan Al halim (sopan santun) dan merupakan sinonim dari kata la ya’lamun (tidak mengetahui), jadi Jahiliyyah yang dimaksudkan adalah orang yang tidak mengetahui hakikat Tuhan (dalam kejiwaan dan prilaku).[5]
Kebanyakan buku-buku
sejarah dan sirah nabawiyah yang ditulis, Arab pra-Islam selalu diidentikan
dengan keadaan masyarakat yang amoral, biadab, tidak berperikemanusiaan, suka
berperang, membunuh anak perempuan dan masih banyak lagi perilaku bejat yang
dilekatkan pada masyarakat Arab pada umumnya. Penulisan ini sebenarnya sangat
sepihak karena tidak utuh didalam memandang suatu persoalan yang terjadi
dimasyarakat Arab pada khususnya. Selain perilaku yang buruk tadi ternyata
masyarakat Arab juga memiliki adat-istiadat, sikap, perilaku yang baik dan
masih tetap disyariatkan setelah agama Islam datang[6].
Tulisan dalam makalah
ini akan mencoba mengeksplorasi kondisi bangsa Arab pra-Islam, baik dari aspek
geografi, sosial budaya dan agama.
B. PEMBAHASAN
Kata Arab secara
etimologis berasal dari kata “a’raba” yang berarti bergoyang atau mudah
berguncang, dalam tata bahasa Arab (nahwu dan shorof) berubah
menjadi i’rab yang berarti perubahan bentuk suku kata sesuai dengan
perubahannya. Dalam gambaran yang stereotipe bangsa Arab disebut memiliki
temperamen yang panas dan emosi yang labil.[7]
Akan tetapi keistimewaan jazirah Arab adalah tempat lahir sebuah agama, yang
pada akhirnya nanti, menjadi agama yang mendunia, yaitu Islam.
Untuk melacak asal-usul
orang Arab, yang termasuk golongan semit,[8]
kita harus merunut jauh ke belakang yaitu pada sosok Ibrahim dan keturunannya
yang merupakan keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Ada juga yang
menyebut bangsa Arab termasuk ras atau rumpun bangsa secara Caucasoid, dalam sub ras Mediterranean
yang anggotanya meliputi wilayah sekitar laut tengah, Afrika utara, Armenia, Arabia
dan Irania.[9]
Secara geneaologis, para sejarahwan membagi orang Arab menjadi Arab Baydah dan Arab
Bāqiyah. Arab Baydah adalah orang Arab yang kini tidak
ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah ‘Ad, Thamud, Ṭasm,
Jadis, Aṣhab al-Ras, dan Madyan. Arab Bāqiyah adalah orang Arab
yang hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qaḥṭān dan
Bani ‘Adnān. Bani Qaḥṭān adalah orang-orang Arab ‘Áribah (orang Arab asli) dan
tempat mereka di Jazirah Arab.[10]
Di antara mereka adalah raja-raja Yaman, Munadharah, Ghassan, dan raja-raja
Kindah. Di antara mereka juga ada Azad yang darinya muncul Aus dan Khazraj.
Sedangkan Bani ‘Adnān, mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni
orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka
adalah orang-orang Arab bagian utara. Sedangkan tempat asli mereka adalah
Mekah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim. Salah satu anak
Nabi Isma’il yang paling menonjol adalah ‘Adnān. Muhammad adalah keturunan
‘Adnān. Dengan demikian beliau adalah keturunan Isma’il. Menurut Ibnu Hishām
(w. 218 H), semua orang Arab adalah keturunan Isma’il dan Qaḥṭān.
Tetapi menurut sebagian orang Yaman, Qaḥṭān
adalah keturunan Isma’il dan Isma’il adalah bapak semua orang Arab[11].
1.
Kondisi Geografis Arab
Secara geografis,
Jazirah Arab diampit oleh dua benua, Afrika dan Asia. Orang barat menyebutnya
timur tengah[12]
atau Asia Barat karena kawasan ini terletak di tengah antara timur dekat
(semenanjung Balkan di daratan Eropa)
dengan timur jauh (Asia Timur). Ada juga yang menyebut Asia barat karena
Jazirah Arab berada di benua Asia paling Barat.[13]
Sebagian ahli sejarah menamai tanah Arab itu
"Shibhul jazirah" yang dalam bahasa Indonesia berarti
"Semenanjung". Kalau diperhatikan kelihatan bahwa Jazirah Arab
itu berbentuk empat persegi panjang, yang sisi-sisinya tidak sejajar, di
sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah, disebelah selatan dengan Lautan
Hindia, di sebelah timur dengan Teluk Arab (dahulu namanya Teluk Persia) dan di
sebelah utara dengan Gurun Irak dan Gurun Syam (Gurun Siria). Panjangnya 1000
Km lebih, dan lebarnya kira-kira 1000 Km.[14]
Jazirah Arab dibagi menjadi dua bagian. Pertama, jantung Arab. Ia adalah wilayah yang berada di
pedalaman. Tempat paling utama adalah Najd. Kedua, sekitar Jazirah[15].
Penduduknya adalah orang-orang kota. Wilayah yang paling penting adalah Yaman
di bagian selatan, Ghassan di sebelah utara, Ihsa` dan Bahrain di sebelah
timur, dan Hijaz di sebelah Barat. Ada juga yang membagi
menjadi tiga wilayah bagian, yaitu:[16]
1.
Arab Petrix atau Pedisebelltracea, yakni wilayah yang
terletak di sebelah barat daya gurun Syiria, dengan Petra sebagai pusatnya.
2.
Arab Diserta atau gurun Syiria yang kemudian dipakai
untuk menyebut seluruh jazirah Arab karena tanahnya tidak subur.
3.
Arab Felix, wilayah hijau (Happy Land) yakni
wilayah Zaman yang memiliki kebudayaan majudengan kerajaan Saba’ dan Ma’in
Dari sini kita bisa
menyimpulkan bahwa sebenarnya apa yang dimaksud dengan Arab di sini bukanlah
daerah di mana penduduknya berbahasa Arab seperti Mesir, Sudan, Maroko, dan
lain-lain tetapi hanya mencakup dua atau tiga bagian dari daerah di atas.
2.
Aspek
Sosial-Budaya Arab Pra-Islam
Sistem sosial masyarakat
Arab pra-Islam mengikuti garis bapak (patriakal) dalam memperhitungkan
keturunan, sehingga setiap nama selalu menyebut bapaknya, kalau laki-laki
dengan bin, kalau anak perempuan dengan binti. Orang Arab akan
bangga dengan rentetan nama dibelakangnya karena menunjukan kabilah dan suku
bangsa dari nenek moyang mereka yang sangat dihormati.[17]
Klan atau kabilah biasanya dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih oleh warga
klan yang tua-tua dari salah satu warga berpengaruh yang disebut syaikh.
Syarat seorang Syaikh biasanya
dia harus seorang yang kaya dan suka berderma kepada fakir miskin dan kepada
pendukungnya, ia haruslah orang yang berprilaku adil dan bijak, sabar, pemaaf,
dan rajin bekerja, diatas itu semua biasanya dia juga harus adil didalam
mengambil keputusan.[18]
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah
gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Wajar saja bila
dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa akan mendapat
keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya,
mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu
tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang
mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang
rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain
selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun (Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran
luas yang meliputi negeri-negeri Arab) dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah.
Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu
peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal
kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.
Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka
terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok
desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun,
kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan
tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu sehingga wajar
saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah.
Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan
waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka
berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep
kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya,
dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa
dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula
rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang
lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa
kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan
sama-sekali.[19]
Sebagai lalu lintas perdagangan penting
terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab, baik karena
meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan Bizantium di sebelah selatan
dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar perdagangannya yang
merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ,
Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat bertemunya
aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban kecil. Bahkan masa
Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan,
tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada
sejak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka
ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī
al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ
(400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur
yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, Ḥimyar,
al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang
berhubungan dengan bermacam-macam penjuru.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian
Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang
kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah
masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid
yang menyebabkan minimnya moralitas, dan peradaban yang
hanya berdasarkan pada nilai-nilai materialistik.[20]
Pencapaian mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu,
seperti bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan
megah kerajaan Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam
eksistensi kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah.
Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah. Memang persoalan apakah
orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta tersebut
menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak semuanya.
Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi
ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat
seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam
bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suatu mukjizat ada kecuali
untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.[21]
3.
Agama dan Sistem Keyakinan Arab Pra-Islam
Paganisme, Yahudi, Majusi dan Nasrani adalah agama orang Arab pra-Islam.[22]
Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam
bentuk ada di sekitar Ka’bah. Ada sekitar 360 berhala
yang mengelilingi berhala utama, Hubal, yang terdapat di Ka’bah.[23]
Orang yang pertama kali memasukan berhala dan mengajak
menyembah adalah Amr bin Luhayyi bin Qam’ah, nenek moyang bani Khuza’ah[24].
Mereka berkeyakinan bahwa berhala-berhala itu dapat mendekatkan mereka pada
Tuhan sebagaimana yang tertera dalam al-Quran. Agama pagan sudah ada sejak masa
sebelum Ibrahim. Setidaknya ada beberapa sebutan bagi berhala-hala itu: Sanam, Wathan, Nuṣub, Latta, Uzza, Manat dan Hubal. Ṣanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan
juga dibuat dari batu. Nuṣub
adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Lata Dewa tertua, Uzza
bertempat di Hijaz, Manat bertempat di Yatsrib dan Ḥubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik yang dianggap dewa terbesar[25].
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib
dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk Yahudi di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās
adalah seorang penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai
penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran
agar masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka
digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam
parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuh dengan pedang atau dibuat
cacat. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah
dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah
“orang-orang yang membuat parit”[26].
Adapun Kristen di Jazirah Arab dan sekitarnya
sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam
itu. Yang ada adalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen yang meruncing.
Menurut Muḥammad ‘Ᾱbid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Naṣārā”
bukan “al-Masīḥīyah” dan “al-Masīḥī”
bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan
Evangelis) istilah “Naṣārā” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka
adalah “Ḥawārīyūn”. Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya
dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhhab-madhhab filsafat dan aliran-aliran
gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan
antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan
antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang
bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian
menyebar ke berbagai penjuru, termasuk Jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius
menyebar di bagian selatan Jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak
dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru Jazirah Arab
yang memastikan bahwa dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui
misionaris atau pedagang Quraysh yang mana mereka berhubungan terus-menerus
dengan Syam, Yaman, da Ḥabashah. Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan
tauhid murni agama samawi adalah sekte Ebionestes[27].
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam
datang selain agama di atas adalah Ḥanīfīyah,
yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak
terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut
agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka
berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Ḥanīfīyah,
sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai
penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Ṭaif,
dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin Abī al-Ṣalt,
Zayd bin ‘Amr bin Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin Jaḥsh,
Ka’ab bin Lu`ay, ‘Abd al-Muṭallib, ‘As’ad Abū Karb al-Ḥamīrī,
Zuhayr bin Abū Salma, ‘Uthmān bin al-Ḥuwayrith.[28]
Tradisi-tradisi warisan mereka yang kemudian
diadopsi Islam adalah: penolakan untuk menyembah berhala, keengganan untuk
berpartisipasi dalam perayaan-perayaan untuk menghormati berhala-berhala,
pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan
penolakan untuk memakan dagingnya, pengharaman riba, pengharaman meminum arak
dan penerapan vonis hukuman bagi peminumnya, pengharaman zina dan penerapan
vonis hukuman bagi pelakunya, berdiam diri di gua hira sebagai ritual ibadah di
bulan ramaḍan dengan memperbanyak kebajikan dan menjamu orang miskin
sepanjang bulan ramaḍan, pemotongan tangan pelaku pencurian, pengharaman
memakan bangkai, darah, dan daging babi, dan larangan mengubur hidup-hidup anak
perempuan dan pemikulan beban-beban pendidikan mereka[29].
C. Kesimpulan dan Penutup
Penjelasan di atas
mengisyaratkan bahwa Arab pra-Islam yang biasa disebut Jahiliyyah, tidak bisa
dinisbatkan kepada suatu kabilah, suku dan bangsa tertentu, atau kurun masa
tertentu karena Jahiliyyah itu adalah sifat-sifat dan prilaku manusia.
Jahiliyyah bisa di alami manusia zaman dahulu atau manusia modern sekarang ini,
asal ciri-ciri sikap dan prilaku menunjukan Jahiliyyah.
Hidup orang Arab pra-Islam
terbagi menjadi dua. Pertama,
masyarakat madani yang bertani dan berdagang. Kedua, bersatu dalam
kebiasaan-kebiasaan (clan) kabilah-kabilah pengembara yang banyak
bertumpu pada peraturan-peraturan yang telah ada. Corak yang pertama dianut
masyarakat perkotaan atau mereka yang telah mencapai peradaban lebih tinggi
terutama Yaman, sementara corak kedua dianut oleh masyarakat badui yang
diwakili oleh daerah Hijaz dan sekitarnya.
Kita jangan berlebihan
dan apriori didalam menyikapi tradisi-tradisi
Arab sebelum Islam. Seakan-akan semua tradisi mereka jelek, karena ada sebagian tradisi Arab pra-Islam yang baik
dan tetap dipertahankan, sesuai kaidah fiqh “al Muhafadhotu ala qodimi
sholih, wal aqdu bil jadidil ashlah”.
Demikian makalah ini
disusun, kami yakin masih banyak kekurangan, karena itu adalah sifat dasar
kami. Untuk itu kritik dan saran yang membangun demi perbaikan keilmuan Islam
sangat kami harapkan.
Daftar Pustaka
A Partanto, Pius, Kamus Ilmiah, Surabaya: Arkola, 1994.
Al A’zami, M.M. , The
History of The Qur’anic text: from revelation to Compilation A Comparative Study with The Old and New Testaments, terj.
Sohirin Sholihin dkk.Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Al Qur’an dan Terjamahnya
yang diterbitkan oleh badan Wakaf dan Pelayanan Dua tanah Suci Raja Fahd bin
Abdul Aziz Al Sa’ud, tth.
G. S. Hodgson, Marshall,
The Venture Of Islam, Consienceand History in a world civilization, Terj.
Mulyadi Kartanegara .Jakarta:Paramadina,cet II, 2002.
Haykal, Muḥammad Ḥusayn.
Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.
http://centrin21.tripod.com/sejarah.htm/ di download pada
hari Selasa, 10 November 2010, jam 09.32
http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/10/18/kondisi-Arab-pra-Islam-dalam-aspek-sosial-budaya-agama-ekonomi-dan-politik/ di download pada hari selasa, 10 November 2010, jam 9.55
WIB
http://rasulullahsaw.atwiki.com/page/BAB%2001.%20ARAB%20PRA-ISLAM di Download pada hari Selasa, 10 November 2010, Jam
09.36
Ibrahim Hasan, Hasan, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, Jakarta:Kalam Mulia, cet II, 2006.
M. Lapidus, Ira, A History of Islamic Societies, terj.
Ghufron A. Masudi .Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999.
Mufrodi, Ali, Islam di kawasan Kebudayaan Arab,Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997.
Quthb, Muhammad,
Perlukah menulis ulang sejarah Islam,Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Said Ramadhan Al Buthi,
Muhammad, Sirah Nabawiyah, analisis ilmiyah manhajiah, sejarah pergerakan Islam
dimasa rasulullah, Alih Bahasa AunurRafiq Saleh Tamhid, Jakarta:Robbani
Press, 2005.
Su’ud, Abu, Islamologi,
Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta:
Rineka Cipta, 2003.
Yatim, Badri, historiografi
Islam, Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997.
[1]http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/10/18/kondisi-Arab-pra-Islam-dalam-aspek-sosial-budaya-agama-ekonomi-dan-politik/ di download pada hari selasa, 10 November 2010, jam 9.55 WIB, lihat juga
di http:// centrin21. tripod.com/sejarah.htm,lihat juga, Badri Yatim, historiografi
Islam, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 27 ,bandingkan dengan Pius A
Partanto, Kamus Ilmiah, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 66, tentang kata
Barbar, yang berarti biadab, tidak beradab, kejam, manusia biadab.
[2] Menurut
Ira M. Lapidus, Barbarian adalah pola hidup nomadis,
untuk menaklukan kekuasaan, dan membagi-bagikan kekayaan agar tampil sebagai
pemenang demi status laki-laki beradab, lihat Ira M. Lapidus, A History of Islamic
Societies, terj. Ghufron A. Masudi (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999)
hlm.7
[3] Lihat Sulhani Hermawan dalam
http://www.2dix.com/doc-2010/Arab-pra-Islam-doc.
[4] Arti potongan QS. Ali Imran: 154
adalah, “mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan
jahiliyyah”, arti potongan QS. Almaidah: 50, adalah, “Apakah hukum
jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum
Allah bagi orang-orang yang yakin”, arti potongan QS. Al Fath ayat 26,
adalah, “ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan
(yaitu) kesombongan jahiliyyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada
rasul-Nya” Lihat Al Qur’an dan Terjamahnya yang diterbitkan oleh badan
Wakaf dan Pelayanan Dua tanah Suci Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Sa’ud, tth.
[5] Muhammad Quthb, Perlukah menulis ulang sejarah Islam, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hlm. 53
[6] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Sirah Nabawiyah, analisis ilmiyah
manhajiah, sejarah pergerakan Islam dimasa rasulullah, Alih Bahasa
AunurRafiq Saleh Tamhid, (Jakarta:Robbani Press,2005), hlm. 12-13
[7] Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban
Umat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 14,,bandingkan dengan,
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta:Kalam Mulia,
cet II, 2006), hlm. 2, yang menyusuri
kata Arab dari makna hakiki (Arabia=Shahara)
[8] M.M. Al A’zami, The History of The Qur’anic text: from revelation to
Compilation A Comparative Study with The
Old and New Testaments, terj. Sohirin Sholihin dkk (Jakarta: Gema Insani
Press, 2005), hlm.16
[9] Ali Mufrodi, Islam di kawasan Kebudayaan Arab,(Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997), hlm.5
[10] Lihat di http://msubhanzamzami.wordpress.com, Ibid, lihat juga, Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah
Kebudayaan Islam, hlm. 13
[12] Marshall G. S. Hodgson tidak suka menyebut timur tengah, tapi lebih suka
dengan istilah “negeri atau daratan-daratan dari Nil ke Oksus”, lihat di
Marshall G. S. Hodgson, The Venture Of Islam, Consienceand History in a
world civilization, Terj. Mulyadi Kartanegara (Jakarta:Paramadina,cet II,
2002), hlm. 165
[19] Abu Su’ud, Ibid, hlm. 16, lihat juga Marshall G. S. Hodgson, Ibid,
hlm. 212, ali Mufrodi, Ibid, hlm 5-6, bandingkan dengan Hasan
Ibrahim Hasan, Sejarah..Ibid, hlm 114
[20] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Sirah
Nabawiyah, Ibid, hlm. 9, lihat juga, http://msubhanzamzami.wordpress.com, Ibid, Muhammad Quthb, Ibid, hlm. 63
[28] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Ibid, hlm. 21, bandingkan dengan
Ali Mufrodi, Islam dikawasan kebudayaan Arab,..hl. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar