Rabu, 31 Oktober 2012

membangun sekolah masyarakat (public school)


MEMBANGUN SEKOLAH MASYARAKAT (PUBLIC SCHOOL) MELALUI PENDIDIKAN LIFE SKILLS
(Kasan As’ari, M.Pd.I)

A.    Pendahuluan
Salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasa masyarakat adalah pendidikan, bahkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menganggap bahwa program pendidikan merupakan salah satu dinamisator dalam pengembangan masyarakat kedepan. Masyarakat industri  masa depan memberi peluang yang besar bagi pengembangan manusia, namun juga dapat menjadi “pembunuh” pengembangan manusia apabila masyarakat tidak dipersiapkan secara matang melalui program pendidikan. (H.A.R Tilaar, 2008:77)
Masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan berharap besar pada peran sekolah di dalam menciptakan tatanan masyarakat yang maju, sejahtera lahir dan batin. Sayangnya, harapan besar masyarakat tersebut belum sepenuhnya bisa dipenuhi oleh lembaga pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari data yang dimuat oleh  BPS (Badan Pusat Statistik), dimana ada 9 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori pengangguran terdidik.

Menurut data di BPS setiap pertumbuhan ekonomi 1% akan mampu menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak 265.000,-. Hal ini jika diasumsikan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 6%, maka jumlah lapangan kerja yang tersedia adalah 1.590.000,- setiap tahunnya. Sedangkan jumlah pengangguran kita pada tahun 2006 sebanyak 11.104.093 jiwa, dengan rincian lulusan SD sebanyak 3.524.884 orang, lulusan SMP sebanyak 2.860.006 orang, lulusan SMA sebanyak 4.047.016 orang, lulusan diploma sebanyak 297.185 orang dan lulusan Sarjana sebanyak 375.601 orang. (http://www.yukbisnis.com).
Apabila kondisi diatas tidak mendapatkan solusi yang tepat dari lembaga pendidikan, maka bukan tidak mungkin lembaga pendidikan akan kehilangan kepercayaan dari mayarakat sebagai klien. Masyarakat akan lebih apatis melihat peran lembaga pendidikan di dalam menciptakan struktur masyarakat yang lebih maju, sejahtera lahir dan batin. Untuk itu lembaga pendidikan perlu merekonstruksi pola hubungannya dengan masyarakat dan kurikulum yang selama ini berjalan, agar mampu menghasilkan lulusan yang memiliki sikap kemandirian, berpikiran kedepan, kritis, pencipta lapangan kerja dan bukan lagi pencari kerja yang akan menambah jumlah barisan pengangguran.
Berdasarkan pemaparan diatas, ada beberapa permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu :
1.    Bagaimana konsep pendidikan yang berbasis pada masyarakat
2.    Bagaimana konsep pendidikan kecakapan hidup (life skills) yang dibutuhkan masyarakat.
3.    Bagimana implementasi pendidikan kecakapan hidup (life skills) dalam proses pembelajaran di kelas.

B.     Pendidikan/sekolah  berbasis masyarakat

Menurut Sagala S. (2004) konsep pendidikan berbasis masyarakat merupakan impelementasi dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Sedangkan menurut Dean Nielsen (2001:175) pendidikan berbasis masyarakat di Indonesia menunjuk pada pengertian yang beragam, diantaranya:
-       peran serta masyarakat dalam pendidikan
-       Pengambilan keputusan yang berbasis sekolah
-       Pendidikan yang diberikan oleh sekolah swasta atau yayasan
-       Pendidikan dan pelatihan yang diberikan oleh pusat pelatihan  milik swasta
-       Pendidikan luar sekolah yang disediakan oleh pemerintah
-       Pusat kegiatan belajar masyarakat
-       Pendidikan luar sekolah yang diberikan oleh organisasi akar rumput (grassroot organisation) seperti LSM dan Pesantren.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan yang tertuang pada pasal 54 ayat (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profisi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam menyelenggarakan dan pengendalian mutu pada satuan pendidikan. Ayat (2) masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber pelaksanaan dan pengguna hasil pendidikan.
Demikian pula pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana yang tertuang pada pasal 55 ayat (1) masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat ayat (2) penyelenggaraan pendidikan berbasis mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Ayat (3) dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan  atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; ayat (4) lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan tekhnis, subsidi dana dan sumbe daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan / atau pemerintah daerah.
Pengertian tentang “basis” dapat menunjuk kepada derajat kepemilikan masyarakat. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa apabila sesuatu berbasis masyarakat, maka hal itu sepenuhnya menjadi milik masyarakat. Kepemilikan mengimplikasikan adanya pengendalian secara penuh terhadap pengambilan keputusan. Kepemilikan penuh berarti bahwa masyarakat memutuskan tujuan dan sasaran, pembiayaan (tingkatan dan sumber), kurikulum, materi belajar, standar dan ujian, guru dan kualifikasinya, persyaratan siswa/peserta, tempat dan sebagainya. (Dean Nielsen, 2001: 176)
Secara umum orang dapat mengatakan apabila terjadi kontak, pertemuan dan lain-lain antara sekolah dengan orang di luar sekolah, adalah kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat. Menurut Arthur B. Mochlan yang dikutip oleh Akhmad Sudrajat (2010) menyatakan school public relation adalah kegiatan yang dilakukan oleh sekolah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Apa sebenarnya kebutuhan masyarakat terhadap sekolah itu? Masyarakat (lebih khusus lagi orang tua murid) mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agar mereka dapat menjadi manusia dewasa yang bermanfaat bagi kehidupannya dan bagi masyarakat secara umum. Secara praktis sering kita dengar para orang tua menginginkan anaknya dapat berprestasi di sekolah. Ini berarti kebutuhan masyarakat terhadap sekolah adalah penyelenggaraan dan pelayanan proses belajar mengajar yang berkualitas dengan out put yang berkualitas pula. Dengan tuntutan yang demikian  akan menjadi beban bagi sekolah, dengan segala keterbatasan yang dimilikinya (tenaga, biaya, waktu dan sebagainya).
Untuk itu sekolah perlu melakukan pendekatan permintaan masyarakat, yaitu suatu pendekatan yang dalam pengembangan pendidikan didasarkan pada tujuan untuk memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktu tertentu dalam perekonomian sosial, politik dan kebudayaan yang ada pada waktu itu. (Harjanto, 2006:33-34)
Penjelasan di atas memberikan isyarat kepada kita bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat lebih banyak menekankan pada pemenuhan akan kebutuhan masyarakat yang terkait dengan sekolah. Di sisi lain pengertian tersebut di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan hubungan masyarakat tidak menunggu adanya permintaan masyarakat, tetapi sekolah berusaha secara aktif (jemput bola), serta mengambil inisiatif untuk melakukan berbagai aktivitas agar tercipta hubungan dan kerjasama harmonis. Hubungan tersebut nampaknya lebih mengarah pada pola hubungan satu arah, yaitu kemauan sekolah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan sekolah. Ini berarti pihak sekolah kurang mendapatkan balikan dari pihak masyarakat.
Definisi yang lebih lengkap diungkapkan oleh Bernays seperti dikutip oleh Akhmad Sudrajat (2010), yang menyatakan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat adalah:
1.         Information given to the public (memberikan informasi secara jelas dan lengkap kepada masyarakat)
2.         Persuasion directed at the public, to modify attitude and action (melakukan persuasi kepada masyarakat dalam rangka merubah sikap dan tindakan yang perlu mereka lakukan terhadap sekolah)
3.         Effort to integrated attitudes and action of institution with its public and of public with the institution (suatu upaya untuk menyatukan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh sekolah dengan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat secara timbal balik, yaitu dari sekolah ke masyarakat dan dari masyarakat ke sekolah.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan sekolah dan masyarakat sebagai suatu “proses kegiatan menumbuhkan dan membina saling pengertian kepada masyarakat dan orang tua murid tentang visi dan misi sekolah, program kerja sekolah, masalah-masalah yang dihadapi serta berbagai aktivitas sekolah lainnya”.
Menurut Akmad Sudrajat (2010) Pemahaman masyarakat yang mendalam, jelas dan konprehensip tentang sekolah merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya dukungan dan bantuan mereka terhadap sekolah. Untuk itu sekolah perlu memberikan penjelasan secara periodik kepada masyarakat tentang program-program pendidikan di sekolah, masalah-masalah yang dihadapi dan kemajuan-kemajuan yang dapat dicapai oleh sekolah (berfungsi sebagai akuntabilitas). Agar pemahaman program oleh masyarakat menyentuh hal yang mendasar, maka harus dimulai dengan penjelasan tentang visi dan misi serta tujuan sekolah secara keseluruhan. Apabila penjelasan-penjelasan tersebut dipahami masyarakat dan apa yang diinginkan serta program-program tersebut sesuai  dengan kebutuhan masyarakat, maka penghargaan mereka terhadap sekolah akan tumbuh. Tumbuhnya penghargaan inilah yang akan mendorong adanya dukungan dan bantuan mereka pada sekolah. Dengan demikian maka program sekolah harus seiring dengan kebutuhan masyarakat. Karena memang pelanggan dan pengguna hasil lulusan sekolah adalah masyarakat. Atau dengan kata lain pelanggan sekolah itu pada hakekatnya adalah siswa dan orang tua siswa serta masyarakat. Karena itu kebutuhan dan kepuasan pelanggan merupakan hal pokok yang harus diperhatikan oleh lembaga sekolah. Sebagai contoh, Bagaimana masyarakat mau membantu sekolah apabila sekolah di tengah masyarakat religius dan fanatik,  sekolah tidak pernah memprogramkan kegiatan sekolah yang bersifat religius, sehingga sekolah terisolir dari masyarakatnya. Sekolah menjadi menara gading bagi lingkungan masyarakatnya sendiri. Kondisi ini yang mendorong masyarakat untuk tidak terlibat apalagi berpartisipasi membantu sekolah.
Dengan demikian peran serta masyarakat dalam pendidikan sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan peran yang sudah ada dengan lebih terarah dan terencana dengan baik sehingga kepedulian masyarakat terhadap pendidikan sangat tinggi dengan aktif berperan serta sesuai dengan tata laksana yang benar. Pendidikan tanpa dukungan dan keikutsertaan masyarakat dalam mensukseskannya akan menyebabkan malproduct dan hanya mengejar status bukan keahlian dan mengantisipasi kebutuhan masyarakat. (Abu Hadfi Effendi, 2008)
Menurut Riwayat (2008) Ada beberapa indikator yang menunjukkan rendahnya mutu hasil pendidikan kita adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen utama mereka, Salah satu platform penting lain yang juga diadopsi dalam rangka reformasi pendidikan nasional adalah pengembangan pendidikan berbasiskan masyarakat. Tujuan pengembangan platform pendidikan berbasis masyarakat ini, adalah sebagai berikut :
1.      Membantu pemerintah dalam mobilisasi sumber daya manusia setempat dan dari luar serta meningkatkan peranan masyarkat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan disemua jenjang, jenis dan jalur pendidikan
2.      Mendorong perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap rasa kepemilikan sekolah, tanggung jawab kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima sosial budaya.
3.      Mendukung inisiatif pemerintah dalam meningkatkan dukungan masyarkat terhadap sekolah, khususnya orang tua dan anggota masyarkat lainnya melalui kebijakan desentralisasi.
4.      Mendukung peranan masyarakat mengembangkan inovasi kelembagaan untuk melengkapi, meningkatkan, dan mensinergikan dengan peran sekolah, dan untuk meningkatkan mutu dan relevansi, membuka kesempatan lebih besar dalam memperoleh pendidikan.
Di samping manfaat seperti diuraikan di atas, pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat yang baik menurut Akhmad Sudrajat (2010) akan memberikan manfaat lain seperti:
1.    Masyarakat/orang tua murid dan stakeholders lainnya akan mengerti dengan jelas tentang visi, misi, tujuan dan program kerja sekolah, kemajuan sekolah beserta masalah-masalah yang dihadapi sekolah  secara lengakap, jelas dan akurat.
2.    Masyarakat/orang tua murid dan stakeholders lainnya akan mengetahui persoalan-persolan yang dihadapi atau mungkin dihadapi sekolah dalam mencapai tujuan yang diinginkan sekolah. Dengan demikian mereka dapat melihat secara jelas dimana mereka dapat berpartisipasi untuk membantu sekolah.
3.    Sekolah akan mengenal secara mendalam latar belakang, keinginan dan harapan-harapan masyarakat terhadap sekolah. Pengenalan harapan masyarakat dan orang tua murid terhadap sekolah, khususnya sekolah merupakan unsur penting guna menumbuhkan dukungan yang kuat dari masyarakat. Apabila hal ini tercipta, maka sikap apatis, acuh tak acuh dan masa bodoh masyarakat akan hilang. Yang menjadi pertanyaan adalah, sudahkah sekolah mengenal harapan masyarakat? Atau sekarang justru sekolah memaksakan harapannya kepada masyarakat! Coba kita analisis kondisi tersebut berdasarkan pengalaman dan penglihatan selama ini dalam praktek penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah. Apabila kita belum melakukan hal tersebut, maka sudah saatnya mulai sekarang sekolah berbenah diri untuk membangun kemitraan dengan masyarakat/ stakeholders untuk kemajuan sekolah.
C.    Tujuan dan prinsip hubungan sekolah dengan masyarakat
Pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat sebagai salah satu aktivitas yang mendapat kedudukan setara dengan kegiatan pengajaran, pengelolaan keuangan, pengelolaan kesiswaan dan sebagainya juga harus direncanakan, dikelola dan dievaluasi secara baik. Tanpa perencanaan dan pengelolaan serta evaluasi yang baik, tujuan yang hakiki dari kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat tidak akan tercapai.
Dari berbagai uraian di atas menurut Akhmad Sudrajat (2010) dapat disimpulkan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan:
1.    Kualitas pembelajaran. Kualitas lulusan sekolah dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor hanya akan dapat tercipta melalui proses pembelajar di kelas maupun di luar kelas. Proses pembelajaran yang berkualitas akan dapat dicapai apabila didukung oleh berbagai pihak termasuk orang tua murid/masyarakat.
2.    Kualitas hasil belajar siswa. Kualitas belajar siswa akan tercapai apabila terjadi kebersamaan persepsi dan tindakan antara sekolah, masyarakat dan orang tua siswa. Kebersamaan ini terutama dalam memberikan arahan, bimbingan dan pengawasan pada anak/murid dalam belajar. Karena itu peningkatan kemitraan sekolah dengan orang tua murid dan masyarakat merupakan prasyarat yang tidak dapat ditinggalkan dalam konteks peningkatan mutu hasil belajar.
3.    Kualitas pertumbuhan dan perkembangan peserta didik serta kualitas masyarakat (orang tua murid) itu sendiri. Kualitas masyarakat akan dapat dibangun melalui proses pendidikan dan hasil pendidikan yang handal. Lulusan yang berkualitas merupakan modal utama dalam membangun kualitas masyarakat di masa depan.
Ini berarti segala program yang dilakukan dalam kegiatan  hubungan sekolah dengan masyarakat harus mengacu pada peningkatan kualitas pembelajaran, kualitas hasil belajar dan kualitas pertumbuhan/ perkembangan peserta didik. Apabila hal tersebut dapat kita lakukan, maka persepsi masyarakat tentang sekolah akan dapat dibangun secara optimal. Menurut Akhmad Sudrajat (2010) ada beberapa prinsip yang harus dipegang sekolah di dalam menjalin hubungan dengan masyarakat, yaitu:
1.         Integrity. Prinsip ini mengandung makna bahwa semua kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat harus terpadu, dalam arti apa yang dijelaskan, disampaikan dan disuguhkan kepada masyarakat harus informasi yang terpadu antara informasi kegiatan akademik maupun informasi kegiatan yang bersifat non akademik.
2.         Continuity. Prinsip ini berarti bahwa pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat, harus dilakukan secara terus menerus. Jadi pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat jangan hanya dilakukan secara insedental atau sewaktu-waktu.
3.         Simplicity. Prinsip ini menghendaki agar dalam proses hubungan sekolah dengan masyarakat yang dilakukan baik komunikasi personal maupun komunikasi kelompok  pihak pemberi informasi (sekolah) dapat menyederhanakan berbagai informasi yang disajikan kepada masyarakat. Informasi yang disajikan kepada masyarakat melalui pertemuan langsung maupun  melalui media hendaknya disajikan dalam bentuk sederhana sesuai dengan kondisi dan karakteristik pendengar (masyarakat setempat). Prinsip kesederhanaan ini juga mengandung makna bahwa:
·       Informasi yang disajikan dinyatakan dengan kata-kata yang penuh persahabatan dan mudah dimengerti. Banyak masyarakat yang tidak memahami istilah-istilah yang sangat ilmiah, oleh sebab itu penggunaan istilah sedapat mungkin disesuaikan dengan tingkat pemahaman masyarakat yang menjadi audience.
·       Penggunaan kata-kata yang jelas, disukai oleh masyarakat atau akrab bagi pendengar.
·       Informasi yang disajikan menggunakan pendekatan budaya setempat
4.         Coverage. Kegiatan pemberian informasi hendaknya menyeluruh dan mencakup semua aspek, factor atau substansi yang perlu disampaikan dan diketahui oleh masyarakat, misalnya program ekstra kurikuler, kegiatan kurikuler, remedial teaching dan lain-lain kegiatan. Prinsip ini juga mengandung makna bahwa segala informasi hendaknya lengkap, akurat dan up to date. Lengkap artinya tidak satu informasipun yang harus ditutupi atau disimpan,  padahal masyarakat/orang tua murid mempunyai hak untuk mengetahui keberadaan dan kemajuan (progress) sekolah dimana anaknya belajar.
5.         Constructiveness. Program hubungan sekolah dengan masyarakat hendaknya konstruktif  dalam arti sekolah memberikan informasi yang konstruktif kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan memberikan respon hal-hal positif tentang sekolah  serta mengerti dan memahami secara detail berbagai masalah (problem dan constrain) yang dihadapi sekolah.
6.         Adaptability. Program hubungan sekolah dengan masyarakat hendaknya disesuaikan dengan keadaan di dalam lingkungan masyarakat tersebut. Penyesuaian dalam hal ini termasuk penyesuaian terhadap aktivitas, kebiasaan, budaya (culture) dan bahan informasi yang ada dan berlaku di dalam kehidupan masyarakat.

D.    Pendidikan kecakapan hidup (life skills) sebagai  alternatif

Diatas telah disebutkan bahwa masyarakat sebagai pengguna jasa sekolah akan terus menuntut perubahan dari dunia pendidikan. Perubahan ini dimaksudkan agar out put lembaga pendidikan masih tetap eksis dan mampu meningkatkan taraf kehidupan. Sayangnya, perkembangan pendidikan secara kuantitatif ternyata  tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul  berbagai  ketimpangan  pendidikan  di  tengah-tengah  masyarakat, termasuk  yang  sangat  menonjol  adalah:  a)  ketimpangan  antara  kualitas output pendidikan dengan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja dan b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar penduduk kaya dan penduduk miskin. Untuk itu dunia pendidikan perlu melakukan dekonstruksi terhadap kurikulum yang selama ini diterapkan, yaitu dari sistem persekolahan yang hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik apa yang disebut the dead  knowledge,  yakni  pengetahuan  yang  terlalu  bersifat  text  bookish, menjadi   relevan  dengan  perkembangan  dan  kehidupan yang ada di masyarakat.
Data statistik persekolahan dari tahun ke tahun menunjukkan, bahwa angka melanjutkan siswa yang dapat sampai ke jenjang Perguruan Tinggi hanya sekitar 11,6%. Ini berarti, bahwa sebagian besar siswa (88,4%) tidak melanjutkan pendidikannya karena berbagai alasan. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan pendidikan yang berbasis masyarakat luas (broad based education) yang berorientasi pada kecakapan untuk hidup (Life Skills). (http://pakguruonline.pendidikan.net)
  Pendidikan  yang  berorientasi  pada kecakapan untuk hidup  tidak mengubah sistem pendidikan yang ada dan juga tidak untuk mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Pendidikan yang berorientasi pada kecakapan untuk hidup justru memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk memperoleh bekal keterampilan atau keahlian yang dapat dijadikan sebagai  sumber penghidupannya. Pendidikan yang berorientasi pada kecakapan untuk hidup juga tidak untuk mendikte lembaga pendidikan dan pemerintah daerah, tetapi hanya menawarkan berbagai kemungkinan atau menu yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi riil sekolah,  baik ditinjau dari keberadaan siswa-siswanya maupun kehidupan masyarakat di sekitarnya.
  Pendidikan yang berbasis masyarakat luas (Broad Based Education) merupakan kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang sepenuhnya diperuntukkan bagi lapisan masyarakat terbesar di negara kita. Dasar pemikiran penyelenggaraan pendidikan yang berbasis masyarakat luas adalah kebutuhan riil dari lapisan masyarakat terbesar, yaitu bahwa pendidikan harus menitikberatkan pada penguasaan kecakapan untuk hidup. Secara teknis filosofis orientasi  pendidikan  yang  berbasis masyarakat luas adalah kecakapan untuk hidup (Life Skills) atau untuk bekerja, bukan semata-mata berorientasi kepada jalur akademik. Untuk itu sekolah dituntut agar mampu mewujudkan pertautan yang jelas dengan dunia kerja. Paradigma bersekolah untuk bekerja (school to work) harus mendasari semua kegiatan pendidikan.  Dengan  titik  berat pendidikan  pada kecakapan untuk hidup (Life Skills) diharapkan pendidikan benar-benar dapat meningkatkan taraf hidup dan martabat masyarakat.
Menurut kamus bahasa inggris life artinya adalah hidup, dan skills adalah kecakapan, kepandaian dan ketrampilan. (John M.  Ecols & Hasan Sadily, 2000), sedangkan pendidikan kecakapan hidup menurut Iyoh Mastiyah (2008) bisa diartikan sebagai pendidikan yang memberikan bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari agar yang bersangkutan mampu, sanggup dan terampil menjalankan kehidupannya yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya.
Menurut Zulkarnaini (2008) kecakapan hidup dapat dipilah atas dua jenis. Kedua jenis itu adalah kecakapan hidup yang bersifat umum (General Life Skill) dan kecakapan hidup yang bersifat khusus (Specific Life Skill). Kecakapan hidup yang bersifat umum adalah kecakapan hidup yang harus dimiliki seorang untuk dapat melakukan hal-hal yang bersifat umum. Kecakapan hidup yang bersifat khusus adalah kecakapan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang bersifat khusus. Dengan bekal kecakapan umum dan kecakapan khusus itu, dimungkinkan seseorang untuk dapat menghadapi kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan dan mampu memecahkan masalah hidup dan kehidupannya.
Kecakapan hidup yang bersifat umum (General Life Skill) dapat dipilah lagi atas tiga bagian. Ketiga bagian itu adalah kecakapan personal (Personal Skill), kecakapan sosial (Social Skill), dan kecakapan berpikir (Thinking Skill). Kecakapan hidup yang bersifat khusus (Specific Life Skill) dapat pula dipilah atas dua bagian. Kedua bagian itu adalah kecakapan akademika (Academic Skill) dan kecakapan vokasional (Vocational Skill).
Kelima kecakapan itu kadang-kadang bisa menyatu dalam dan melebur dalam tindakan. Tindakan yang menyatukan dan meleburkan kecakapan tersebut biasanya melibatkan aspek fisik, mental, emosional, dan intelektual. Akan tetapi di dalam pembelajaran, guru dapat memberikan stresing (penekanan) kepada kecakapan tertentu.
Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah didiversifikasikan sehingga dapat memberikan bidang pembelajaran sebagai life skills yang sesuai dengan kondisi dan lingkungan masyarakat setempat.
Menurut Masitoh dkk. (2009) Keterampilan atau kecakapan hidup (life skills) merupakan kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan    secara  wajar  tanpa  merasa  tertekan,  dan  kemudian  secara proaktif dan kreatif mencari dan menemukan  solusi pemecahan  sehingga mampu  mengatasi  berbagai  persoalan  hidup  dan  kehidupan. Keterampilan hidup  bukan  sekedar  keterampilan manual  dan  bukan  pula keterampilan  untuk  bekerja. Tetapi  suatu  keterampilan  untuk hidup  yang dapat dipilah menjadi lima kategori, yaitu:
-            Keterampilan mengenal diri sendiri (self awarness) atau keterampilan personal (personal skill).
-            Keterampilan berpikir rasional (thinking skill).
-            Keterampilan sosial (social skill).
-            Keterampilan akademik (academic skill).
-            Keterampilan vokasional (vocational skill).
Menurut situs http://pakguruonline.pendidikan.net muatan pendidikan vang berorientasi pada kecakapan hidup hendaknya memuat upaya untuk mengembangkan kemampuan minimal sebagai berikut: 
1.    Kemampuan membaca dan menulis secara fungsional baik dalam bahasa Indonesia maupun salah satu bahasa asing (Inggris, Arab, Mandarin, dsb.)
2.    Kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah yang diproses melalui pembelajaran berfikir ilmiah, eksploratif, discovery dan inventory.
3.    Kemampuan menghitung dengan atau tanpa bantuan teknologi, untuk mendukung kedua kemampuan tersebut di atas.
4.    Kemampuan memanfaatkan teknologi dalam aneka ragam lapangan kehidupan seperti teknologi pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan, kerumahtanggaan, kesehatan, komunikasi-informasi, transportasi, manufaktur dan industri, perdagangan, kesenian, pertunjukan, olah raga, jasa, dsb.
5.    Kemampuan mengolah sumber daya alam, sosial, budaya dan lingkungan untuk dapat hidup mandiri.
6.    Kemampuan bekerja dalam tim yang merupakan tuntutan ekonomi saat ini baik dalam sektor informal maupun formal.
7.    Kemampuan untuk terus menerus menjadi manusia belajar sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
8.    Kemampuan untuk mengintegrasikan dengan sosio-religius bangsa berlandaskan nilai-nilai Pancasila.


E.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Konsep pendidikan kecakapan hidup (life skills) yang dibutuhkan masyarakat adalah adalah kecakapan untuk hidup untuk bekerja, bukan semata-mata berorientasi kepada jalur akademik. Kecakapan hidup tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1). Kecakapan hidup yang bersifat umum (General Life Skill) dapat dipilah lagi atas tiga bagian. Ketiga bagian itu adalah kecakapan personal (Personal Skill), kecakapan sosial (Social Skill), dan kecakapan berpikir (Thinking Skill). 2). Kecakapan hidup yang bersifat khusus (Specific Life Skill) dapat pula dipilah atas dua bagian. Kedua bagian itu adalah kecakapan akademika (Academic Skill) dan kecakapan vokasional (Vocational Skill).
Implementasi Pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran di kelas tidak mengubah sistem pendidikan yang ada dan juga tidak untuk mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Pendidikan yang berorientasi pada life skills justru memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk memperoleh bekal keterampilan atau keahlian yang dapat dijadikan sebagai  sumber penghidupannya. Pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup juga tidak untuk mendikte lembaga pendidikan dan pemerintah daerah, tetapi hanya menawarkan berbagai kemungkinan atau menu yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi riil sekolah,  baik ditinjau dari keberadaan siswa maupun kehidupan masyarakat disekitarnya.
Daftar pustaka
Ecols, John M & Hasan Sadily. (2000). Kamus bahasa inggris. Jakarta: Pt. Gramedia
Effendi, Abu Hadfi. (2008).  Pendidikan Berbasis Masyarakat. dalam http://re-searchengines.com/0308abu.html
Harjanto. (2006). Perencanaan pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta Karya
http://pakguruonline.pendidikan.net
Mastiyah, Iyoh. (2008). Pendidikan kecakapan hidup di Ponpes. Jakarta: Jurnal Edukasi, Balitbang agama dan keagamaan, volume 6, nomor 3
Masitoh dkk. (2009). Studi Implementasi Kurikulum Berbasis Kecakapan Hidup (Life Skills) Pada Jenjang Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian. Vol. 10 Nomor 2
Nielsen, Dean. (2001). Memetakan konsep pendidikan berbasis masyarakat di Indonesia. Dalam Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. (editor: Fasli Jalal & Dedi Supriadi). Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Riwayat. (2008). Konsep pendidikan berbasis masyarakat. Dalam http://riwayat.wordpress.com/2008/07/02/konsep-pendidikan-berbasis-masyarakat/ di download pada hari Jum’at, 16 September 2011, Jam. 09.25 WIB
Sagala, S. (2004). Manajemen berbasis sekolah dan masyarakat. strategi memenangkan persaingan mutu.  Jakarta : PT. Rakasta Samasta
Sudrajat, Akhmad. (2010). Manajemen peran serta masyarakat. Dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/01/10/ konsep-dasar-manajemen-peran-serta-masyarakat/ di akses pada Jum’at 16 September 2011, jam 09.03 WIB
Tilaar, H.A.R. (2008). Manajemen pendidikan nasional. Bandung: PT. Remaja Rosda karya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Zulkarnaini. (2008) . Pola pelaksanaan pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup. Dalam http://zulkarnaini.net/2008/11/pola-pelaksanaan-pendidikan-berorientasi-kecakapan-hidup-life-skill-education.htm. diakses, Jum’at 16 September 2011 jam 10.00 WIB

Tidak ada komentar: