Minggu, 28 Oktober 2012

Ismail Ibrahim, Ismail Kita


 
ISMAIL IBRAHIM, ISMAIL KITA
Kasan As’ari*


 Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah…(QS. Al Kautsar :2)
Setiap mendekati hari raya Idul Adha umat muslim diseluruh dunia yang memiliki kemampuan untuk berkorban selalu bersemangat untuk menyembelih hewan korban, hal tersebut karena beberapa faktor, diantaranya selain korban mengandung dimensi Ubudiyah (ketaatan hamba) kepada Tuhannya juga merupakan ibadah yang mengandung dimensi sosial yang tinggi, dengan korban masyarakat miskin yang selama ini jarang atau bahkan tidak pernah memakan asupan gizi dari protein hewani akan merasakan nikmatnya daging yang banyak mengandung protein hewani. Karena ibadah ini mengandung dimensi sosial yang tinggi maka masyarakat muslim yang merasa mampu akan berlomba-lomba dalam melaksanakan korban, sehingga seringkali hewan korban pada suatu daerah surplus, sehingga perlu didistribusikan ke daerah lain yang minus.
Seringkali seorang muslim tidak mengetahui hikmah atau hakikat dari pelaksanakan korban itu sendiri, korban hanya dimaknai sebatas ibadah dengan menyembelih hewan  ansich, sehingga lebih mirip semacam pesta besar-besaran umat muslim, karenanya pada sebagian masyarakat Jawa hari raya Idul Adha disebut juga bodo besar.
Dalam pelakasanaanya ritual ini sangat riskan dengan penyakit hati berupa riya,yaitu memamerkan suatu amal atau ibadah agar mendapatkan pujian dari orang lain, bukan semata-mata karena Allah.
Korban yang berasal dari bahasa arab qoroba, yaqrobu, qurbanan yang berarti mendekat, dalam hal ini mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah salah satu ibadah didalam agama Islam yang memiliki sejarah sangat panjang, karena ibadah ini termasuk Syar’un man qoblana, yaitu sebuah syariat yang berasal dari syariat sebelum Islam datang dan tetap dipraktekan dalam syariat Islam. Ibadah ini sebenarnya telah ada sejak zaman nabi Adam AS, sebagaimana firman Allah SWT didalam Al Qur’an : “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang Sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".(QS. Al Maidah : 27).
Dari ayat tersebut bisa diketahui, bahwa tradisi korban sebenarnya bukan hanya dimulai dari nabi Ibrahim AS, akantetapi telah ada sejak dulu kala, yaitu ketika nabi Adam AS menginjakan kakinya dimuka bumi. Walaupun tradisi korban telah ada sejak nabi Adam AS, akan tetapi korban yang disyariatkan didalam agama Islam adalah korban seperti yang dilakukan oleh nabi Ibrahim AS.
Semangat Ibrahim, Semanggat kita
Nabi Ibrahim adalah salah satu nabi kekasih Allah sehingga mendapatkan gelar Khalilullah, Dialah nabi yang meletakan dasar-dasar tauhid dan menjadi imam seluruh manusia, dia juga yang membangun ka’bah dan menjadi kiblat ibadah orang muslim diseluruh dunia.
Nabi Ibrahim adalah sosok manusia yang tetap teguh memegang iman, walaupun cobaan dan ujian datang bertubi-tubi. Keimanannya benar-benar atas usaha yang maksimal dan telah ditempa oleh zaman. Masa kecilnya dilalui dengan pergolakan pemikiran dan ketidakpuasan tentang hakikat ke-Tuhanan, dia harus berjuang keras menemukan, siapa Tuhanku yang sebenarnya ? sehingga dia berani melawan arus tradisi masyarakat setempat kala itu.
Ujian dan cobaan, baik yang datang dari manusia maupun dari Allah, dia lalui dengan penuh kesabaran dan kepsrahan total. Ketika dia harus dikucilkan oleh keluarganya sendiri, terutama ayahnya adalah hukuman psikis bagi dia, dan ketika harus menghadapi hukuman dibakar oleh raja namrud adalah cobaan fisik bagi dia, akantetapi dengan kesabaran dan kepasrahan total seorang hamba kepada Tuhan-nya, dia terselamatkan dari ujian itu semua, karena Allah pasti akan menolong hambanya yang mau bersabar dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.
Disinilah anak manusia harus banyak mengambil pelajaran dan berguru kepada nabi Ibrahim, bagaimana sikap dan keteguhan iman beliau dalam menghadapi cobaan dan ujian yang mungkin datang dari keluarga atau penguasa kita sendiri yang seharusnya mengayomi, melindungi dan menjamin hak-haknya.
Diantara ujian yang paling berat adalah pada saat dia harus melaksankan perintah Allah yang dia terima lewat mimpi. Dalam mimpi itu dia harus menyembelih putra kesayangannya Ismail, padahal Ismail pada saat itu sedang tumbuh sebagai anak yang lucu dan merupakan penghibur jiwanya. Ismail adalah putra semata wayang yang Allah karuniakan kepadanya, karena Sarah istri pertama nabi Ibrahim pada saat itu belum memberinya keturunan. Nabi Ibrahim begitu cinta dan sayang kepada Ismail, apalagi anaknya itu tumbuh sehat dan cerdas dan telah lama dia tinggalkan dipadang pasir yang gersang bersama istri tercinta Hajar. Kisah ini diabadikan Allah SWT didalam Al qur’an surat Ash Shafat ayat 99-111.
Setelah lama dia memendam kerinduan dan kasih sayangnya dan kini telah dipertemukan lagi oleh Allah SWT, dia harus menyembelih putranya tersebut. Sebagian para ahli berpendapat, mengapa Ibrahim AS diuji oleh Allah untuk menyembelih Ismail adalah karena pada saat itu nabi Ibrahim terlalu cinta, dan sayang kepada Ismail, sehingga dia agak lupa atau berkurang akan cintanya kepada Allah. Dari situlah Allah menguji keimanan nabi Ibrahim AS, agar dia sabar dan menyadari sepenuhnya hakikat, bahwa apa yang dia miliki semata-mata pemberiaan dari Allah, sehingga harus lebih bersyukur dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.
Ada beberapa hikmah atau pelajaran yang bisa kita petik dari kisah ini dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, yaitu ketika kita lebih cenderung mencintai harta, dunia, kekuasaan, istri dan anak-anak  yang ada disekitar kita dan memalingkan diri dari mencintai Allah, maka kita akan diuji atau diberi cobaan oleh Allah SWT. Ujian tersebut tidak lain adalah supaya umat manusia sadar, bahwa apa yang kita miliki hanyalah milik Allah semata, dan sudah sepantasnyalah kita serahkan kepada Allah SWT dijalan yang diridloi olehNya.
Tentu tidak seberapa pengorbanan kita, bila dibandingkan nabi Ibarahim yang harus menyembelih dan mengorbankan putranya sendiri, maka kita jangan pernah ragu mengorbankan harta, kekuasaan atau apapun yang kita miliki dalam rangka menggapai ridlo Allah. Kalau nabi Ibarahim berani mengorbankan putranya Ismail, maka kita juga harus berani mengorbankan harta, kekuasaan dan apapun yang melekat pada diri kita yang akan menghalangi atau mengurangi kecitaan kita kepada Allah SWT.
Ketika para pemimpin bangsa ini sangat hendonis dan mulai berpaling dari kecintaannya kepada Allah serta semangat berkorban telah hilang, maka Allah pasti akan menguji bangsa ini dengan bencana yang bertubi-tubi, kenakalan remaja yang merajalela, korupsi, kolusi dan nepotisme ada dimana-mana. Walallahu ‘alamu bi showab.




* Mahasiswa pascasarjana program beasiswa DITPAIS  STAIN Surakarta (28 Oktober 2012)

Tidak ada komentar: